Liputan6.com, Jakarta - Tim ilmuwan di Tiongkok mengambil pendekatan unik untuk melacak populasi pesut tanpa sirip Sungai Yangtze yang langka, dengan puisi-puisi kuno berusia 1.400 tahun.
Analisis terhadap karya tulis itu menunjukkan bahwa jangkauan habitat pesut tanpa sirip Yangtze (Neophocaena asiaeorientalis) telah menyusut setidaknya 65 persen, dan sebagian besar penurunan terjadi dalam 100 tahun terakhir.
Temuan yang dipublikasikan pada 5 Mei 2025 di jurnal Cell Press, Current Biology, ini menghubungkan keanekaragaman hayati dengan hampir dua milenium budaya Tiongkok.
"Pekerjaan kami mengisi celah antara informasi jangka panjang yang kita dapatkan dari fosil dan DNA dengan survei populasi terkini. Ini benar-benar menunjukkan betapa kuatnya gabungan antara seni dan konservasi keanekaragaman hayati," ujar Zhigang Mei, salah satu penulis studi dan ahli hidrobiologi di Akademi Ilmu Pengetahuan Tiongkok, dikutip dari Popular Science, Selasa (6/5/2025).
Mei, yang tumbuh di tepi Sungai Yangtze, mengenang bagaimana para tetua di komunitasnya mengajarkan bahwa pesut itu seperti roh yang memahami cuaca dan jumlah ikan. Melukai mamalia tersebut dianggap membawa nasib buruk.
Sungai Yangtze, yang membentang hampir 6.400 kilometer dari Pegunungan Tanggula di Dataran Tinggi Tibet hingga Laut China Timur dekat Shanghai, adalah sungai terpanjang di Asia dan ketiga terpanjang di dunia.
Banyak penyair telah menulis tentang sungai ini, termasuk Kaisar Qianlong dari Dinasti Qing. Karena penyair dan pedagang sama-sama mengandalkan sungai dan anak-anak sungainya untuk perjalanan, banyak dari mereka melihat sekilas pesut langka tanpa sirip Yangtze, satu-satunya jenis pesut air tawar yang diketahui di dunia yang dulunya menghuni sebagian besar sungai.
"Dibandingkan ikan, pesut tanpa sirip Yangtze cukup besar, dan mereka aktif di permukaan air, terutama sebelum badai petir ketika mereka benar-benar mengejar ikan dan melompat-lompat. Pemandangan yang menakjubkan ini sulit diabaikan oleh para penyair," Mei memaparkan.
Mencari Tahu Keakuratan Para Penyair
Dalam studi tersebut, tim secara sistematis meneliti puisi-puisi yang dilestarikan sejak tahun 618 Masehi dan menemukan ratusan referensi tentang pesut.
Menurut Mei, seringnya kemunculan mamalia air tawar seperti pesut tanpa sirip Yangtze mencerminkan hubungan yang mendalam antara manusia dan alam di Tiongkok kuno.
"Salah satu tantangan terbesar dalam penelitian ini adalah banyaknya jumlah puisi Tiongkok yang ada, dan fakta bahwa setiap penyair memiliki gaya yang berbeda," kata Mei.
"Kami harus mencari tahu seberapa akurat para penyair itu. Beberapa mungkin sangat fokus pada realisme, menggambarkan apa yang mereka lihat seobjektif mungkin. Yang lain mungkin lebih imajinatif, melebih-lebihkan ukuran atau perilaku hal-hal yang mereka lihat. Jadi, begitu kami menemukan puisi-puisi ini, kami harus meneliti kehidupan dan gaya penulisan setiap penyair untuk memastikan informasi yang kami dapatkan dapat diandalkan."
Tim mengkontekstualisasikan referensi pesut dalam puisi dan membandingkannya dengan catatan sejarah peristiwa kehidupan penyair. Ini membantu mereka menentukan waktu kronologis dan lokasi geografis penampakan pesut.
Hasilnya menunjukkan bahwa Dinasti Qing (1636 hingga 1912 Masehi) memiliki lebih dari setengah total puisi tentang pesut, dengan 477 puisi menyebutkan pesut tanpa sirip Yangtze.
Dinasti Ming (1368 hingga 1644 Masehi) berada di urutan kedua dengan 177 puisi, diikuti oleh Dinasti Song (960 hingga 1279 Masehi) dengan 38 dan Dinasti Yuan (1271 hingga 1368 Masehi) dengan 27. Dinasti Tang (618 hingga 907 Masehi) hanya memiliki lima puisi.
Penyebab Menurunnya Populasi Pesut
Selanjutnya, tim menggunakan informasi dalam puisi untuk merekonstruksi distribusi pesut di sungai dari waktu ke waktu. Penurunan jangkauan habitat paling tajam terjadi selama abad terakhir—antara dinasti Qing dan zaman modern.
Jangkauan pesut di sepanjang bagian utama sungai telah menurun sebesar 33 persen sejak Dinasti Tang. Jangkauan pesut di antara anak sungai dan danau yang dialiri Sungai Yangtze juga menurun sebesar 91 persen.
Penurunan tajam selama 100 tahun terakhir sejalan dengan penelitian sebelumnya. Penelitian tersebut menghubungkan penurunan ini dengan perubahan yang disebabkan oleh manusia di Sungai Yangtze—terutama proyek rekayasa hidrolik.
Sungai ini adalah rumah bagi fasilitas hidroelektrik terbesar di dunia—Tiga Ngarai—di antara banyak proyek lain yang menghasilkan listrik, tetapi dapat mengganggu aliran sungai.
Selain itu, pembangunan bendungan selama tahun 1950-an menghalangi pergerakan mereka dari aliran utama sungai dan kemungkinan menjadi alasan mengapa mereka menghilang dari danau dan anak sungai Yangtze.
Hanya dalam beberapa dekade terakhir, dua spesies endemik Yangtze lainnya—lumba-lumba baiji (Lipotes vexillifer) dan ikan pedayung Cina (Psephurus gladius)—telah dinyatakan punah secara fungsional di daerah tersebut, kemungkinan karena perubahan habitat yang sama.
"Melindungi alam bukan hanya tanggung jawab ilmu pengetahuan modern; itu juga sangat terkait dengan budaya dan sejarah kita," kata Mei. "Seni, seperti puisi, benar-benar dapat memicu hubungan emosional, membuat orang menyadari harmoni dan rasa hormat yang seharusnya kita miliki antara manusia dan alam."
Ingin Menginspirasi Lebih Banyak Ilmuwan
Dalam penelitian mendatang, tim berencana untuk meneliti lebih lanjut puisi-puisi yang telah mereka kumpulkan untuk melihat apa yang dapat mereka temukan tentang bagaimana rupa sungai di masa lalu, seberapa besar kelompok pesut dulunya, dan bagaimana perilaku mereka.
Mereka berharap bahwa pekerjaan ini pada akhirnya dapat membantu populasi pesut tanpa sirip Yangtze saat ini pulih dan menginspirasi lebih banyak ilmuwan untuk menggunakan puisi, novel, lukisan, dan bentuk seni sejarah lainnya untuk mendapatkan wawasan ekologis.
"Pekerjaan ini membuat saya memikirkan kembali nilai ilmiah dari literatur sejarah dan menunjukkan kepada kita kekuatan berpikir lintas disiplin," kata Mei.
"Puisi Tiongkok dapat menjadi alat ilmiah yang serius. Menggunakan masa lalu untuk memahami masa kini, 'menguraikan' cerita di balik seni: ini bukan hanya penelitian, ini seperti melakukan percakapan dengan para penyair masa lalu," ia memungkaskan.