Liputan6.com, Jakarta - Aplikasi dompet kripto 'World App - Worldcoin Wallet', belakangan ini tengah menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat maupun media sosial di Indonesia. Perhatian tertuju karena World App menjanjikan imbalan uang tunai, ratusan hingga jutaan rupiah dengan syarat mudah. Pengguna cukup melakukan verifikasi pemindaian iris mata menggunakan alat khusus bernama Orb pada beberapa lokasi yang ditentukan.
Hasil pemindaian ini dikonversi menjadi kode unik terenkripsi yang kemudian digunakan untuk menciptakan identitas digital global bernama WorldID. Sontak, iming-iming yang menggiurkan itu menuai minat masyarakat. Ratusan orang rela mengantre dari matahari terbit hingga larut malam dan sukarela memindai mata mereka dengan harapan imbalan.
Pemandangan kerumunan masyarakat ini terlihat di depan lokasi kantor Worldcoin di Jalan Insinyur H. Juanda, Bekasi yang kini ternyata ditutup. Menurut keterangan warga setempat, kantor tersebut baru beroperasi sejak Sabtu (26/4/2025) dan terakhir terlihat buka pada Sabtu (3/5/2025).
Lia (21 tahun), warga yang ditemui di lokasi, membenarkan jika kedatangannya merupakan kedua kali. Kali ini dia ingin mendaftarkan anggota keluarga mengikuti jejaknya untuk mendaftar.
Dia sendiri mengaku telah mendaftar di Jakarta, pekan lalu. Dari kesaksiannya menjelaskan proses pendaftaran World App ini terbilang mudah, hanya dengan mendatangi kantornya. Di lokasi kemudian diminta menunjukkan KTP ketika masuk ke lokasi.
Namun dia mengaku lupa penjelasan perihal apa tujuan harus melakukan pemindaian mata. "Setelah pemindaian, kita akan menerima sejumlah koin Worldcoin (WLD) yang dapat dicairkan menjadi rupiah melalui rekening bank atau ewallet," ujarnya kepada Liputan6.com.
Lia menjelaskan jumlah Worldcoin yang diterima setiap akun berbeda-beda. Ketika pertama kali melakukan scan mata, dirinya menerima sekitar 200 Worldcoin. Sementara di akun milik anggota keluarganya yang lain nominal penerimaannya berbeda. Untuk diketahui, hasil dari konversi Worldcoin ke rupiah menggunakan kalkulator kripto Coingecko. Terpantau harga pada Senin sore (5/5/2025), per 1 WLD seharga Rp 15.407.
Selain mendapatkan Worldcoin ketika pertama kali mendaftar, Lia menunjukkan akunnya akan menerima Worldcoin lagi di bulan depan, tetapi dengan nominal lebih kecil."Jadi, kita scan hanya awal-awal saja, nanti setiap bulan dapat lagi koinnya dan bisa ditarik lagi menjadi rupiah,” ungkapnya.
Selain di Bekasi, Kantor World di Bundaran Senayan juga terpantau tutup sementara. Penutupan kantor Worldcoin merupakan imbas laporan dari sejumlah masyarakat, menuduh ada aktivitas mencurigakan yang melibatkan perusahaan tersebut.
Kementerian Komunikasi dan Digital(Komdigi) akhirnya membekukan sementara TDPSE (Tanda Daftar Penyelenggara Sistem Elektronik) atas layanan Worldcoin dan WorldID.
Sebagai informasi, Worldcoin didirikan oleh Sam Altman, Alex Blania, dan Max Novendstern yang keluar dari proyek tersebut pada Juli 2021. Sam Altman sendiri dikenal sebagai pendiri dan CEO OpenAI.
Perusahaan milik Sam Altman, Tools for Humanity, menjalankan project World yang menggunakan pemindai iris mata untuk membangun sistem identitas global.
Penjelasan Komdigi soal Pembekuan Izin Worldcoin
Menurut Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Komdigi, Alexander Sabar, pembekuan izin Worldcoin dan WorldID bersifat preventif untuk melindungi masyarakat dari potensi risiko dalam ruang digital.
"Pembekuan ini merupakan langkah preventif untuk mencegah potensi risiko terhadap masyarakat," ujarnya seperti dikutip dari siaran pers Komdigi.
Alexander menyebut, Komdigi juga akan memanggil PT. Terang Bulan Abadi dan PT. Sandina Abadi Nusantara guna memberikan penjelasan atas dugaan pelanggaran terhadap regulasi penyelenggaraan sistem elektronik.
Untuk diketahui, dua perusahaan itu terindikasi berhubungan dengan layanan Worldcoin. Hasil investigasi awal menujukkan PT. Terang Bulan Abadi belum terdaftar sebagai PSE (Penyelenggara Sistem Elektronik) dan tidak memiliki TDPSE sebagaimana diwajibkan oleh regulasi.
Sementara, layanan Worldcoin terdeteksi menggunakan TDPSE yang terdaftar atas nama badan hukum lain yakni PT. Sandina Abadi Nusantara.
"Ketidakpatuhan terhadap kewajiban pendaftaran dan penggunaan identitas badan hukum lain untuk menjalankan layanan digital merupakan pelanggaran serius," Alexander menegaskan.
Ia menekankan bahwa pengawasan ruang digital dilakukan secara adil dan tegas demi menjaga keamanan ekosistem digital nasional.
Tampak Menjanjikan Tapi Rawan Masalah Privasi
Menurut Co-Founder CryptoWatch, Christopher Tahir, hal yang ditawarkan WorldCoin memang terlihat menjanjikan, tapi metode yang dipakai perlu menjadi perhatian. "Worldcoin terlihat menjanjikan dalam konteks menyediakan satu identitas untuk sedunia. Namun, teknologi pemindaian iris ini tentu menimbulkan kekhawatiran," kata Christopher kepada Liputan6.com.
Ia juga menyoroti isu keamanan data pengguna yang bisa saja bocor, terutama dari sisi keamanan dan privasi pengguna. "Data bisa saja bocor. Yang menjadi pertanyaan adalah seberapa aman data kita disimpan? Apakah keanoniman data dapat terjaga? Ini yang masih menjadi misteri," tukasnya.
Terkait model distribusi token, menurut Christopher, sistem yang diterapkan Worldcoin memang terlihat berkelanjutan dari sisi perusahaan. Namun, ia mempertanyakan nilai tukar data pribadi pengguna dengan imbalan token semata.
"Model distribusinya saat ini terlihat sustainable dari sisi mereka. Tapi, untuk yang mendapat tokennya, apakah wajar 'harga beli' data kita hanya dibayar dengan token tersebut?," ia mempertanyakan.
Kendati demikian, ia menilai Worldcoin tetap menarik perhatian banyak orang karena imbalan token yang diberikan dianggap memiliki nilai oleh sebagian pengguna.
Sementara, Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi, berpendapat bahwa penggunaan aset kripto juga perlu diwaspadai karena pergerakannya sangat fluktuatif. "Penggunaan aset kripto perlu diwaspadai karena pergerakannya sangat fluktuatif, bisa naik tajam, tapi juga bisa turun drastis," ucap Heru.
Di Indonesia sendiri, menurutnya, aset kripto kerap dijadikan modus penipuan baru berkedok digital yang menyebabkan kerugian masyarakat hingga ratusan juta bahkan miliaran rupiah.
Selain itu, Heru juga menegaskan bahwa data biometrik termasuk data pribadi yang sangat dilindungi oleh Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).
Ia pun mengingatkan agar masyarakat tidak sembarangan membagikan data biometrik ke pihak yang belum jelas keamanannya. Ia menekankan prinsip zero trust penting untuk diterapkan dalam era digital saat ini.
Mengancam Keamanan Data Indonesia
Pakar Keamanan Siber Pratama Persadha menilai model operasional WorldID mengundang kekhawatiran serius bagi keamanan data.
"Model operasional yang diterapkan WorldID yang memberikan insentif bagi masyarakat yang bersedia memindai iris matanya, mengundang kekhawatiran serius karena melibatkan data biometrik, kategori data paling sensitif dan tak tergantikan," kata Pratama.
Menurutnya, ketika sebuah perusahaan meminta warga menyerahkan data biometrik sebagai syarat untuk mendapatkan imbalan, yang dipertaruhkan bukan hanya data tetapi juga martabat dan hak individu atas kendali dirinya di ruang digital.
Apalagi, iming-iming itu diberikan kepada masyarakat yang belum tentu memahami secara penuh risiko dari pemberian data tersebut.
"Dalam konteks Indonesia, pendekatan ini bisa sangat bermasalah, karena celah literasi digital masih lebar dan bisa banyak orang belum memiliki pemahaman mendalam mengenai bagaimana data biometrik bekerja dan konsekuensi jangka panjang dari penyerahan data biometrik kepada pihak asing," tutur Pratama memberikan penjelasan.
Meski pihak Worldcoin maupun WorldID mengklaim datanya tidak disimpan terpusat dan hanya tersimpan lokal di perangkat, Pratama menyoroti, tetap ada kerentanan dari hal ini. Terlebih, dalam praktik keamanan siber, tidak pernah ada sistem yang benar-benar aman.
"Apalagi jika mekanisme konversi data atau sistem pemrosesan tidak sepenuhnya transparan dan belum diuji oleh lembaga independen. Sangat mungkin data yang tak disimpan dalam bentuk iris, pola unik yang dihasilkan tetap bisa dipakai untuk pelacakan atau analisis lanjutan, apalagi jika digabungkan dengan data lain," Pratama menguraikan.
Ia juga menyoroti soal keuntungan yang bisa didapatkan WorldID dengan pengumpulan data biometrik masyarakat Indonesia. Terlepas dari teknis, katanya, data tetap bisa dijadikan fondasi untuk membangun ekosistem digital yang sangat kuat dan terkonsolidasi.
Meski World mengaku tidak akan membagikan atau menjual data iris masyarakat ke pihak ketiga, identitas digital berbasis biometrik ini bisa membuka peluang untuk mengembangkan sistem otentikasi universal hingga memengaruhi tatanan ekonomi digital global.
Negara Lain Larang Project World
Selain Indonesia, otoritas perlindungan data Brasil menentang perusahaan milik Sam Altman, Tools for Humanity yang menjalankan project World. Mereka meminta agar perusahaan besutan bos OpenAI itu berhenti membeli data biometrik berupa pemindaian iris milik orang-orang Brasil.
Pelarangan terhadap Tools for Humanity mulai berlaku pada awal 2025 dan merupakan bagian dari investigasi yang sudah dimulai sejak November 2024. Tools for Humanity juga menghadapi masalah serupa di Spanyol dan Portugal.
Pratama pun menyinggung soal Brasil yang juga melarang layanan pengumpulan data biometrik warganya oleh World atas alasan keamanan data pribadi.
Menurut pria 47 tahun ini, pendekatan serupa sangat mungkin untuk diterapkan oleh pemerintah Indonesia. Bahkan, hal ini bisa jadi preseden penting agar negara tidak tunduk pada model bisnis yang menjadikan data warganya sebagai komoditas tanpa kontrol negara.
Menurut dia, pembekuan sementara aktivitas World menjadi keberpihakan negara dan sinyal bahwa Indonesia tak menolerir pengumpulan data dengan skema imbalan yang nantinya berisiko mengeksploitasi kondisi sosial dan ekonomi masyarakat.
UU PDP yang disahkan, menurut Pratama, bisa jadi payung hukum untuk mengatur aktivitas pengumpulan data seperti yang dilakukan World ID.
"UU PDP menetapkan data biometrik termasuk dalam kategori data pribadi yang bersifat spesifik, yang pemrosesannya memerlukan persetujuan eksplisit, tujuan jelas, dan batasan penggunaan," ia memungkaskan.
World Bantah Token Worldcoin Sebagai Bayaran Verifikasi Iris Mata
Terkait iming-iming uang tunai, World menegaskan kalau distribusi koin (token) Worldcoin yang diberikan bukan bentuk kompensasi (bayaran) atas proses verifikasi identitas melalui teknologi biometrik.
Dalam pernyataan resmi yang Liputan6.com terima, Tools for Humanity menegaskan token WorldCoin bersifat opsional, dan hanya dimaksudkan jadi insentif bagi pengguna untuk menjelajahi layanan yang ditawarkan jaringan World.
"Token ini merupakan insentif bagi pengguna untuk menjelajahi dan memanfaatkan jaringan World, yang menyediakan berbagai layanan bermanfaat," tulis perusahaan.
Dijelaskan pula, token tersebut dapat digunakan untuk mengakses dan berinteraksi dengan layanan yang disediakan para pengembang melalui platform World.
Tools for Humanity juga mengklaim tidak menyimpan data pribadi maupun biometrik pengguna. Teknologi yang digunakan hanya dipakai untuk memverifikasi keunikan individu, tanpa menyimpannya.
Menurut perusahaan, proses verifikasi tersebut dilakukan memakai perangkat khusus bernama Orb, kamera canggih yang bertugas mengambil gambar mata pengguna untuk menghasilkan iris code, representasi numerik unik pola iris mata seseorang.
Kode tersebut disimpan bukan sebagai data mentah, melainkan dikonversi secara kriptografis menjadi serangkaian angka anonim menggunakan teknologi canggih. Angka itu tidak bisa ditautkan kembali identitas individu mana pun.
Angka anonim tersebut lantas disimpan secara terpisah dalam basis data yang dikelola oleh pihak ketiga independen dan terpercaya, seperti universitas.
Hal ini dilakukan demi memastikan tidak ada aktor tunggal yang mengontrol data, sekaligus menjaga anonimitas pengguna sepenuhnya.
Sementara itu, gambar mata dan iris code asli hanya disimpan sementara di Orb, lalu dienkripsi dan dikirim ke perangkat pengguna. Setelah itu, data akan otomatis dihapus dari kamera.
"Dengan skema ini, kendali penuh atas data ada di tangan pengguna," tulis Tools for Humanity menutup pernyataannya.
Cara Kerja Worldcoin, Apa Bedanya dengan Kripto Lain?
Platform Worldcoin menggabungkan teknologi AI dengan mata uang kripto dan blockchain dalam protokol open source yang mampu memberikan akses kepada siapa pun ke ekonomi global.
Worldcoin diklaim terdesentralisasi seperti mata uang kripto lainnya. Itu artinya, pengguna membuat keputusan sendiri, tidak secara terpusat seperti layanan keuangan perbankan.
Proyek Worldcoin yang dikembangkan selama dua tahun oleh Sam Altman bersama Alex Blania dan Max Novendstern ini berupaya mengatasi ketimpangan pendapatan melalui WorldID.
Berikut bagaimana cara WorldID membuktikan bahwa seseorang adalah manusia, bukan bot atau AI:
- Identitas digital unik yang dapat digunakan secara global
- Mata uang global melalui token Worldcoin
- Aplikasi untuk pembayaran, transfer, dan pembelian menggunakan mata uang kripto atau aset tradisional.
Lantas, apa bedanya Worldcoin dengan mata uang kripto lain? Mengutip Tech Target, Worldcoin berbeda dari kripto lain seperti Bitcoin dan Ethereum, karena menawarkan token untuk masa depan tanpa memerlukan data investasi di awal.
Proyek Worldcoin diklaim memiliki tujuan untuk membantu menciptakan ekonomi global bagi semua orang, terlepas dari negara atau status ekonomi mereka.
Untuk mendapatkan Worldcoin, orang perlu memindai mata mereka melalui perangkat berbentuk bola yang disebut Orb, guna memastikan semua orang adalah manusia dan hanya mendaftar sekali.
Hal ini seperti yang dilakukan oleh World di berbagai wilayah di Bekasi dan Jakarta, mengarahkan orang untuk memindai iris mata melalui kamera berbentuk bola bernama Orb. Selanjutnya, setelah melakukan pemindaian, nantinya orang-orang akan mendapatkan token koin Worldcoin.
Pengidentifikasi unik ini jadi pusat perhatian seiring dengan berkembangnya AI dan membuktikan seseorang adalah manusia, bukan mesin.
Mengapa iris mata yang dipilih? Rupanya hal ini karena iris mata setiap orang berbeda-beda, layaknya sidik jari. Nah, struktur iris mata subjek ini dipakai oleh perangkat Orb untuk menghasilkan kode identifikasi khusus yang berfungsi sebagai pengenal unik untuk orang tersebut.
Kode ini lalu disimpan di blockchain Worldcoin yang terdesentralisasi untuk mencegah ada pihak lain menggandakannya. Hasil pemindaian lalu dianonimkan sehingga tidak bisa dilacak ke orang tersebut setelah pengenal dibuat.