Liputan6.com, Jakarta - Rencana lelang frekuensi 1,4 GHz oleh Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) untuk menghadirkan internet murah dan cepat berbasis broadband wireless access (BWA), menjadi sorotan sejumlah pengamat.
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansah, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap wacara ini karena implementasi teknologi BWA berpotensi gagal di masa lalu.
Trubus menyoroti kegagalan skema BWA sebelumnya dalam mendorong penetrasi internet yang merata, terutama di wilayah yang menjadi sasaran pengembangan.
Ia mencontohkan kasus Berca di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai bukti bahwa spektrum yang dimenangkan dalam lelang tidak selalu dapat dimanfaatkan secara optimal untuk membangun infrastruktur internet.
"Faktanya, hingga kini banyak wilayah yang masih minim akses, meskipun kebijakan BWA berbasis regional telah diterapkan," ujar Trubus melalui keteranganya, Senin (17/2/2025).
"Jika pemerintah tidak berhati-hati, skema serupa berisiko hanya menguntungkan segelintir pihak tanpa memberikan dampak nyata bagi pemerataan akses internet di Indonesia," ia menambahkan.
Trubus juga menyoroti kurangnya transparansi dan partisipasi publik dalam proses pengambilan kebijakan di Komdigi. Ia menilai bahwa konsultasi publik yang dilakukan terkesan terburu-buru dan tidak melibatkan seluruh pemangku kepentingan secara optimal.
"Konsultasi publik kali ini patut diduga adanya intervensi dari penguasa. Jangan sampai Komdigi mengakomodasi perusahaan yang terafiliasi dengan kekuasaan atau kroni penguasa," ujar Trubus.
Lebih lanjut, Trubus meminta Komdigi untuk membuka kajian yang lebih luas terkait rencana lelang frekuensi 1,4 GHz. Ia menekankan pentingnya bagi publik untuk memahami alasan di balik kebijakan ini dan memastikan bahwa frekuensi sebagai sumber daya terbatas dapat memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat.
"Agar publik tak buruk sangka kepada Komdigi, kajian mengenai BWA lokal 1,4 GHz harus dibuka ke publik, sehingga publik dapat melihat manfaatnya dan dapat memberikan masukan ketika ada kekurangan," Trubus menyarankan.
Trubus berharap Komdigi dapat lebih transparan dan melibatkan partisipasi publik secara menyeluruh dalam membuat kebijakan. Ia juga mengingatkan akan pentingnya menjaga persaingan usaha industri telekomunikasi nasional agar publik tidak dirugikan.
"Tujuannya agar publik mendapatkan manfaat dari kebijakan yang dibuat Komdigi. Selain itu, dengan Komdigi melibatkan berbagai kementerian dan lembaga lain dalam lelang frekuensi ini, diharapkan dapat mengurangi potensi pengusaha yang hanya mencari keuntungan sesaat," ia memungkaskan.
Lelang Frekuensi 1,4 Ghz untuk Internet Cepat Rp 100 Ribuan Sulit Tercapai
Sementara menurut Pengamat Telekomunikasi Kamilov Sagala, objektif yang disampaikan Komdigi terhadap lelang frekuensi 1,4 Ghz tak masuk akal.
"Komdigi mimpi di siang bolong jika lelang frekuensi 1,4 Ghz akan memicu operator membangun di daerah yang tak menguntungkan. Selama ini Komdigi tak pernah konsisten dan tidak bisa tegas dalam melakukan penindakan terhadap operator yang tak memenuhi janjinya," ujarnya.
Ia menyinggung kasus sebelumnya, seperti Starlink, yang awalnya dijanjikan untuk wilayah 3T tetapi pada kenyataannya lebih banyak dipasarkan di rumah dan apartamen kota-kota besar.
"Sehingga muncul pertanyaan, apakah tujuan operator BWA tersebut benar-benar untuk mendukung pemerataan layanan telekomunikasi yang murah?," Kamilov mempertanyakan konsistensi Komdigi.
Menurutnya saat ini sudah lebih dari 1.100 operator telekomunikasi pemegang lisensi jartaplok telah membangun jaringan optik di perumahan di berbagai wilayah di Indonesia. Ia pun mengakui masih banyak wilayah yang belum tersedia operator jaringan serat optik.
"Mungkin di daerah yang sudah tersedia banyak fiber optik dan persaingannya sudah sangat ketat, bisa dilakukan. Namun di daerah yang masih terbatas jaringan fiber optic, itu mustahil diwujudkan," ujar Kamilov yang juga dikenal sebagai Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) periode 2006-2009, melalui keterangan resminya, Jumat (14/2/2025).
Untuk membangun jaringan fiber optik di daerah yang tingkat keamanannya rendah dan kondisi geografis yang menantang, ia menilai membutuhkan biaya yang sangat tinggi.
"Mustahil operator BWA pemenang frekuensi 1,4 Ghz memberikan layanan internet 100 Mbps dengan harga Rp 100 ribu. Pun kalau backhaul menggunakan Starlink tetap saja mahal. BAKTI saja untuk menyediakan layanan di daerah 3T tertatih-tatih, apalagi operator jartablok," ungkap Kamilov.
Komdigi Diminta Prioritaskan 700 Mhz untuk Layanan Broadband
Kamilov pun mengkritisi narasi Komdigi tentang frekuensi 1,4 Ghz hanya untuk layanan perumahan (fixed line). Dengan masuknya frekuensi 1,4 Ghz ke dalam International Mobile Telecommunications, ia menilai sulit bagi Komdigi untuk memastikan layanan tersebut hanya dipergunakan untuk melayani perumahan.
Agar tak merusak industri telekomunikasi, Kamilov memberikan masukan kepada Komdigi untuk memprioritaskan lelang frekuensi 700 Mhz guna memenuhi kebutuhan layanan broadband.
"Agar operator dapat memberikan harga yang terjangkau dengan kualitas terbaik, dalam lelang 700 Mhz, Komdigi harus mempertimbangkan biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi yang lebih murah dibandingkan lelang sebelumnya," ia menambahkan.
Dengan memprioritaskan lelang frekuensi 1,4 Ghz yang sangat mendadak, Kamilov menilai mungkin ada kepentingan tertentu yang membuat Komdigi tak berdaya.
Komdigi Siapkan Internet Murah Fixed Broadband Rp 100 Ribuan untuk 100Mbps
Pemerintah saat ini tengah berencana melelang frekuensi 1,4GHz. Rencananya, frekuensi tersebut akan dimanfaatkan untuk menghadirkan layanan internet rumah yang cepat, tapi dengan harga lebih terjangkau.
Kementerian Komdigi (Komunikasi dan Digital) menargetkan frekuensi tersebut bisa menghadirkan internet dengan kecepatan hingga 100Mbps. Pita frekuensi 1,4GHz akan digunakan untuk layanan telekomunikasi BWA (Broadband Wireless Access).
Dijelaskan, layanan BWA ini diberikan untuk penyelenggaran jaringan tetap lokal berbasis packet-switched menggunakan teknologi IMT (International Mobile Telecommunications).
Menurut Direktur Jenderal Infrastruktur Digital Kementerian Komdigi Wayan Toni Supriyanto, proses lelang frekuensi 1,4GHz ini kemungkinan akan dimulai pada minggu ketiga Februari 2025.
Terkait soal biaya yang terjangkau, Wayan berharap tarif untuk kecepatan internet 100Mbps itu sekitar Rp 100 sampai 150 ribu. "Jadi, kualitasnya berharap itu bagus dengan tarif yang murah," tuturnya beberapa waktu lalu.
Untuk itu, Rancangan Peraturan Menteri Komunikasi dan Digital tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio pada Pita Frekuensi Radio 1,4 GHz saat ini tengah disusun.
Peraturan itu dibuat dalam rangka meningkatkan penetrasi fixed broadband, menyediakan layanan fixed broadband dengan harga yang terjangkau, dan meningkatkan penggelaran serat optik.
Hal ini dilakukan karena penetrasi Fixed Broadband (FBB) di Indonesia masih rendah, hanya 21,31 persen rumah tangga yang memiliki akses. Selain itu, kecepatan rata-rata masih 32,10Mbps, dan harga layanan internet cepat 100Mbps masih mahal.
"Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah terobosan kebijakan untuk mendorong pembangunan layanan akses internet di rumah secara masif dan cepat dengan biaya yang relatif terjangkau sesuai kemampuan masyarakat," tulis Komdigi dalam siaran persnya.
Dijelaskan pula, rencana kebijakan internet murah ini akan fokus pada wilayah dengan tingkat layanan internet yang masih terbatas atau bahkan yang belum ada penetrasi sama sekali.
Lalu, pelanggan dari layanan internet murah ini ditujukan bagi masyarakat kelas menengah ke bawah dengan daya beli terbatas. Adapun Komdigi akan menyiapkan spektrum frekuensi radio 80Mhz di pita frekuensi 1,4GHz.