Liputan6.com, Jakarta - Dalam dunia yang kian serbacepat dan digital, panggung menjadi ruang sakral untuk mengingat dari mana kita berasal. Di tengah geliat modernitas ibu kota, sebuah upaya tulus dan penuh semangat untuk merawat seni tradisi kembali digelar oleh komunitas seni Gending Enem bersama Wayang Orang Bharata lewat pementasan bertajuk “Gatotkaca, Ksatria dari Pringgondani”.
Diselenggarakan pada Minggu, 20 Juli 2025 di Gedung Kesenian Jakarta, pertunjukan ini bukan sekadar pelestarian, melainkan perayaan—pertemuan antara kekuatan mitologi dan semangat zaman kini. Lakon Gatotkaca yang legendaris diangkat dengan sentuhan artistik kontemporer, dipadu dengan teknologi panggung modern dan koreografi yang berdenyut energik.
Dalam acara jumpa media, Leo Widodo selaku ketua panitia—yang juga memerankan Arjuna—menyampaikan tekad kolektif mereka.“Pertunjukan ini merupakan wujud konkrit dari upaya kami untuk menghadirkan kembali kekayaan seni tradisi Indonesia dalam kemasan yang segar dan relevan bagi generasi masa kini. Kekuatan seni Wayang Orang digabungkan dengan elemen teater dan teknologi modern serta koreografi yang dinamis. Kami ingin menciptakan ruang baru di mana tradisi dan seni budaya dapat kembali dirayakan dan berkelanjutan,” ujarnya.
Gatotkaca, sang ksatria berotot kawat tulang besi, diperankan oleh penari profesional Yodya Prasetyanto.
Ira Wibowo dan Maudy Koesnaedi Turut Tampil
Di balik kekuatan Gatotkaca, ada Dewi Pergiwa, sang permaisuri yang setia. Tokoh ini dimainkan oleh aktris kawakan Ira Wibowo.
“Merupakan tantangan tersendiri, berperan sebagai Pergiwo, karena bukan hanya berlakon dan menari, tetapi peran sebagai istri Gatotkaca yang setia dan sangat mencintai suaminya ini, juga dituntut untuk menembang," kata Ira, yang juga dikenal sebagai penggiat tari Jawa klasik itu.
Dia menambahkan, "Saya merasa bahagia sekali bisa kembali berkontribusi dalam pelestarian seni budaya Indonesia, bersama teman-teman dari Sanggar Gending Enem,”
Sementara Maudy Koesnaedi, aktris yang kini menetap di Bali, turut mengambil bagian sebagai Kunti. Walau berjauhan, dedikasinya tak tergantikan. Ia belajar peran lewat video dan rekaman suara.
Disutradarai Yudhi Bharata
Nama lain yang turut memberi nyawa pada pertunjukan ini adalah Ninok Leksono, wartawan senior dan budayawan, yang memerankan Semar. Ada juga Alexandra Askandar, bankir ternama, menjelma sebagai Dewi Supraba—sosok bidadari dengan kecantikan yang tak terperi.
Sebagai narator yang mengantarkan alur cerita adalah penyanyi Dewi Gita. Dengan semangat lintas budaya, ia mengaku sangat terhormat bisa terlibat. “Saya orang Sunda yang ingin tahu tradisi budaya Jawa dan ingin belajar seluruh kesenian budaya di Indonesia. Sangat merasa terhormat diajak oleh komunitas Gending Enem dan dipercayakan sebagai narrator yang mengantar isi cerita dari awal sampai akhir. Mari kita cintai dan lestarikan budaya. Pagelaran ini akan sangat indah, mulai dari tata lampu dan panggung hingga visual art keren banget,” kata istri musisi Armand Maulana itu.
Menakhodai seluruh elemen pertunjukan ini adalah Moch Wahyudi alias Yudhi Bharata, sutradara sekaligus koreografer kawakan yang telah berkarya sejak lama, termasuk sebagai pemeran utama dalam drama sinema Jabang Tetuko (2010).
“Kenapa mengambil lakon Gatotkaca? Supaya generasi sekarang tahu bahwa sebelum ada Superman dan Iron Man sudah lebih dulu ada superhero bernama Gatotkaca. Supaya anak-anak muda bisa mengambil hikmah dari sifat, karakter heroik dan kerendahan hati tokoh Gatotkaca,” ujar Yudhi.
Tentang Gending Enem
Komunitas Gending Enem lahir dari keresahan atas rapuhnya masa depan budaya tradisional. Dibentuk oleh alumni lintas SMA pada 2018, Gending Enem hadir sebagai wadah ekspresi, ruang berkreasi, dan medan juang bagi para pecinta seni tari Jawa. Kini dipimpin oleh Arief Katoro, komunitas ini telah mementaskan berbagai karya, termasuk ketoprak tari, Festival Bedhayan, dan Beksan Nemlikuran.
Pagelaran Wayang Orang Gatotkaca kali ini merupakan produksi keempat mereka, menampilkan kolaborasi para penari dari beragam usia dan profesi, bersama pengrawit serta seniman Wayang Orang Bharata. Komunitas ini membuka diri untuk siapa pun—termasuk pelajar dan mahasiswa—yang ingin belajar mencintai seni dan menggali falsafah budaya adiluhung.