Investasi AI Tembus Rp 3.051 Triliun, Akamai: 80 Persen Dipakai untuk Latih Model AI

2 days ago 8

Liputan6.com, Jakarta - Organisasi-organisasi di seluruh dunia saat ini telah menginvestasikan sebesar USD 188 miliar atau Rp 3.051 triliun untuk kecerdasan buatan (AI), dan angka ini terus meningkat.

CTO, Cloud Computing di Akamai Technologies, Jay Jenkins, mengungkapkan bahwa AI mendorong investasi besar di bidang perangkat keras.

"Tentu saja ada Graphics Processing Unit (GPU), Tensor Processing Unit (TPU), Field-programmable Gate Array (FPGA), dan prosesor khusus lain yang dirancang tidak hanya untuk pelatihan (training), tetapi juga untuk inference (pengambilan keputusan atau prediksi dari model yang telah dilatih)," kata Jay saat sesi Media Roundtable via Zoom, Rabu (25/6/2025).

Seiring berkembangnya teknologi ini dan terciptanya aplikasi-aplikasi yang kompleks, menurutnya, AI kini mulai digunakan untuk efisiensi dan optimalisasi sumber daya di seluruh pusat data. AI juga digunakan untuk meningkatkan keamanan.

"Kami berinvestasi besar-besaran di bidang AI. Kami baru saja mengumumkan Firewall for AI yang bisa digunakan pelanggan untuk meningkatkan keamanan di ranah ini. Dan tentunya, banyak organisasi, termasuk kami sendiri, saat ini sedang membangun layanan-layanan berbasis AI," ucap Jay.

Jika melihat investasi saat ini dalam kecerdasan buatan, Jay menyebut 80 persen dari investasi itu digunakan untuk membangun dan melatih model AI.

"Hanya 20 persen yang digunakan untuk inference (penggunaan model dalam praktik), yang mungkin terdengar mengejutkan tapi sebenarnya wajar, karena banyak organisasi masih dalam tahap eksplorasi terhadap AI. Padahal, 20 persen inilah yang sebenarnya menghasilkan nilai dari AI: implementasinya secara nyata," tuturnya menambahkan.

60 Persen Pemimpin Perusahaan Kerepotan dengan Pemrosesan AI

Gartner memprediksi infrastruktur senilai USD 1,3 triliun (sekitar Rp 21.103 triliun) akan digunakan untuk mendukung inference AI pada tahun 2032. Jadi, organisasi-organisasi benar-benar memperhatikan bagaimana AI akan dioperasionalkan di masa depan.

"Dengan jaringan besar yang kami miliki, kami dapat membantu pelanggan mengoperasionalkan AI dan mendekatkan diri dengan pelanggan juga. Maka kami bekerja sama dengan Forrester untuk menyusun sebuah studi tentang apa yang dihadapi para pemimpin saat ini," Jay memaparkan.

Dari studi itu ditemukan 56 persen dari para pemimpin sebenarnya mengalami masalah latensi dengan AI secara khusus. 60 persen kerepotan dengan biaya penyimpanan dan pemrosesan mereka, serta 45 persen mengalami kesulitan dalam meningkatkan kapasitas aplikasi ini.

"Jadi, operasi AI tidak semudah yang diperkirakan orang. Sekali lagi, ini masih sangat awal," imbuhnya.

Untuk mengatasi masalah ini Akamai mencoba menggunakan arsitektur cloud terdistribusi untuk memungkinkan AI inference yang cepat dan efisien.

Jay menjelaskan bahwa kita perlu memikirkan tentang bagaimana kita beralih dari model-model terpusat. Jadi, jika kita melihat bagaimana orang berpikir tentang cloud, itu sangat terpusat. Semuanya dilatih di satu lokasi, dan inference juga dilakukan di lokasi yang sama.

"Namun, jika kita berpikir tentang bagaimana model dan di mana model tersebut seharusnya berada, kita sebenarnya tidak perlu pergi ke tempat penyimpanan data, tetapi kita perlu membawa komputasi ke tempat data dibuat dan di mana kita dapat bereaksi terhadap data tersebut secara real time, terutama dengan hal-hal seperti perangkat IoT," ia memaparkan.

Tingkat Adopsi AI Indonesia Tertinggi di Asia Tenggara

Bicara soal adopsi AI di dalam negeri, Indonesia memiliki tingkat adopsi AI tertinggi di Asia Tenggara sebesar 24,6 persen (menurut IDC), diikuti Thailand 17,1 persen, Singapura 9,9 persen, dan kemudian Malaysia 8,1 persen.

Terkait hal ini Indonesia membutuhkan sumber daya komputasi yang signifikan, harus memiliki kemampuan yang sangat besar untuk melayani 280 juta orang di 18.000 pulau. Untuk melakukan hal tersebut, Indonesia membutuhkan komputasi edge.

"Itulah mengapa, khususnya untuk Indonesia, adanya minat yang begitu tinggi terhadap edge computing secara khusus, tidak hanya untuk melayani Indonesia, tetapi bahkan untuk pasar global, khususnya untuk hal-hal seperti IoT, yang memiliki pertumbuhan sangat besar di Indonesia," kata Jay.

Dengan situasi geopolitik saat ini, banyak organisasi di seluruh dunia (tidak hanya di Indonesia) yang memperhatikan regulasi dan kedaulatan data.

"Jadi, katakanlah saya menjalankan model AI untuk layanan kesehatan. Mengapa saya perlu memusatkannya di negara lain, atau bahkan di dalam satu negara? Mungkin saya ingin memindahkan data sesedikit mungkin, dan menyimpannya di dalam area metro. Komputasi terdistribusi memiliki kemampuan untuk melakukan hal ini," tutur Jay menjelaskan.

Dengan munculnya AI, ia menyebut, Indonesia perlu memikirkan bagaimana data tersebut didistribusikan. Ketersediaan talenta cloud di Indonesia, saat ini juga masih menjadi kesenjangan dan terus menjadi tantangan.

Infografis 4 Rekomendasi Chatbot AI Terbaik. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)

Read Entire Article
Dunia Televisi| Teknologi |