Liputan6.com, Jakarta - Sebuah penemuan mineral langka yang tak terduga di sampel asteroid Ryugu telah mengguncang pemahaman para ilmuwan tentang pembentukan batuan luar angkasa.
Hasil penelitian terbaru yang dipublikasikan dalam jurnal Meteoritics & Planetary Science menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara komposisi mineral yang ditemukan dengan teori pembentukan Ryugu yang selama ini diyakini.
Implikasinya disebut-sebut bisa sangat besar dalam mengklarifikasi evolusi tata surya dan kompleksitas mengejutkan di dalam asteroid paling primitif.
Pada 5 Desember 2020, kapsul kecil yang membawa sampel berharga ini dilepaskan dari pesawat ruang angkasa Hayabusa2 milik Jepang saat melintasi Bumi dalam penerbangan terjadwal.
Kapsul tersebut mendarat dengan sukses di pedalaman Australia, mengakhiri perjalanan enam tahun bolak-balik untuk meneliti asteroid Ryugu. Demikian sebagaimana dikutip dari Popular Science, Kamis (26/6/2025).
Sejak saat itu, para peneliti, termasuk tim dari Universitas Hiroshima, telah menganalisis sampel mineral langka yang dikumpulkan dari batuan luar angkasa yang jauh itu.
Selama ini, para ilmuwan meyakini bahwa Ryugu, sebuah batuan angkasa selebar setengah mil (sekitar Rp 800 meter) dengan berat 496 juta ton, berasal dari sebuah objek induk yang terbentuk sekitar 1,8 hingga 2,9 juta tahun setelah kelahiran tata surya kita.
Keluarga asteroid ini, yang kemungkinan adalah Eulalia atau Polana, terbentuk dari campuran beku karbon dioksida dan air di tepi luar tata surya.
Elemen Radioaktif
Selama jutaan tahun, elemen radioaktif di dalam objek asteroid induk meluruh dan menghasilkan panas, diperkirakan mencapai sekitar 50 derajat Celcius.
Dampak dahsyat dengan asteroid lain diyakini telah menciptakan Ryugu, sebagian besar terdiri dari batuan yang mirip dengan meteorit CI chondrite yang sering melintas di atmosfer Bumi.
Namun, meskipun CI chondrite relatif umum, enstatite chondrite sangat jarang ditemukan. Asteroid langka ini terbentuk dalam kondisi suhu yang sangat tinggi di wilayah dalam tata surya.
Enstatite chondrite mengandung mineral berbeda, seperti djerfisherite, yaitu sulfida besi-nikel yang kaya akan kalium. Berdasarkan pengetahuan para ilmuwan tentang asteroid, Ryugu seharusnya tidak mengandung mineral djerfisherite--tetapi kenyataannya, mineral ini ditemukan.
"Kejadian ini seperti menemukan biji tropis di dalam es Arktik," kata Masaaki Miyahara, seorang profesor sains dan teknik di Universitas Hiroshima dan salah satu penulis studi tersebut.
Evolusi Asteroid
Miyahara dan rekan-rekannya menemukan djerfisherite di Ryugu saat menggunakan field-emission transmission electron microscopy (FE-TEM) untuk memahami lebih baik bagaimana pelapukan terestrial memengaruhi lapisan mineral asteroid.
Menurut Miyahara, penemuan ini "menantang gagasan bahwa komposisi Ryugu seragam" dan membuka pertanyaan baru tentang evolusi asteroid primitif.
Eksperimen sebelumnya menunjukkan bahwa djerfisherite dapat terbentuk ketika cairan kaya kalium dan sulfida besi-nikel berinteraksi pada suhu di atas 350 derajat Celcius. Mengingat pemahaman mereka tentang enstatite chondrite, tim Miyahara mengajukan dua penjelasan potensial.
"Penemuan djerfisherite dalam butiran Ryugu menunjukkan bahwa materi dengan sejarah pembentukan yang sangat berbeda mungkin telah bercampur pada awal evolusi tata surya, atau bahwa Ryugu mengalami kondisi kimia yang heterogen dan terlokalisasi yang sebelumnya tidak dikenali," Miyahara menjelaskan.
Interaksi Ruang Angkasa Tak Terduga
Bukti awal menunjukkan teori kedua lebih mungkin terjadi, tetapi para peneliti belum dapat memastikan hal ini hanya berdasarkan informasi yang tersedia saat ini.
Terlepas dari itu, penemuan ini mengungkapkan bahwa era paling awal tata surya menyimpan beberapa interaksi ruang angkasa yang tak terduga. Ke depannya, tim berharap dapat melakukan studi isotop pada sampel untuk mempersempit asal-usul mineral tersebut.
Sementara itu, pesawat ruang angkasa Hayabusa2 saat ini sedang dalam perjalanan untuk melakukan pertemuan dengan asteroid berikutnya, sebuah batuan kecil yang berputar cepat hingga tahun 2031 bernama 1998 KY.
Penemuan ini menjadi tonggak penting dalam upaya manusia untuk memahami lebih dalam tentang asal-usul dan evolusi alam semesta.