Terungkap, Dinosaurus Ada yang Bisa Terbang seperti Ayam!

8 hours ago 1

Liputan6.com, Jakarta - Archaeopteryx, fosil penting yang menjembatani evolusi dinosaurus dan burung modern, masih menyimpan sejumlah misteri meski telah ditemukan sekitar 165 tahun lalu.

Salah satu pertanyaan mendasar yang belum terjawab sepenuhnya adalah bagaimana makhluk dari era Jurassic ini mampu terbang di antara kerabat "dinosaurus berbulunya" yang lain.

Setelah lebih dari dua dekade tersimpan dalam koleksi pribadi, salah satu set fosil terlengkap dan detail Archaeopteryx tiba di Field Museum Chicago pada tahun 2022.

Sebelum dipamerkan ke publik, para ahli menghabiskan waktu setahun untuk mempersiapkan dan menganalisis spesimen yang dijuluki "Chicago Archaeopteryx" ini.

Hasilnya, penemuan mereka memberikan pemahaman baru mengapa dinosaurus purba itu begitu istimewa. Diwartakan Pop Science, Jumat (16/5/2025), temuan tim peneliti ini dipublikasikan pada 14 Mei 2025 di jurnal Nature.

"Ketika pertama kali mendapatkan Archaeopteryx ini, saya sangat gembira," ujar Jingmai O’Connor, kurator fosil reptil di Field Museum dan penulis utama studi tersebut, dalam pengumuman resminya.

Namun, di balik antusiasmenya, O’Connor mengaku sempat ragu.

Dari Ujung Moncong hingga Ekor

"Archaeopteryx sudah dikenal begitu lama, saya tidak yakin apa hal baru yang bisa kita pelajari. Tetapi spesimen kami ini sangat terawat dan dipreparasi dengan baik sehingga kita benar-benar mendapatkan banyak informasi baru, dari ujung moncong hingga ujung ekornya," ia menjelaskan.

Namun, proses pemeriksaan dan preparasi fosil ini bukannya tanpa tantangan. Salah satu kesulitan utama adalah membedakan antara sisa-sisa fosil dengan batuan di sekitarnya yang nyaris sewarna. Di sinilah pemindaian CT (Computed Tomography) berperan penting.

"Pemindaian CT sangat krusial dalam proses preparasi kami. Hal ini memungkinkan kami mengetahui hal-hal seperti tulang berada tepat 3,2 milimeter di bawah permukaan batu, sehingga kami tahu persis seberapa jauh kami bisa membersihkannya sebelum menyentuh tulang," kata Connor, seraya menambahkan bahwa proyek ini merupakan pemindaian CT pertama yang dilakukan pada spesimen Archaeopteryx yang lengkap.

Kilauan Bulu di Bawah Sinar UV

Seluruh sisa-sisa Archaeopteryx diketahui berasal dari endapan batu kapur Solnhofen, sekitar 160 kilometer sebelah timur Stuttgart, Jerman. Penelitian sebelumnya mengungkapkan bahwa fosil dari Solnhofen memiliki komposisi kimia unik yang menyebabkan jaringan lunaknya berfluoresensi.

Memanfaatkan hal ini, tim peneliti sering menggunakan lampu UV untuk membantu membedakan antara batuan dan jaringan lunak yang sulit dilihat dengan mata telanjang. Ini bahkan mencakup detail halus seperti sisik di bagian bawah jari kaki Archaeopteryx.

Bukan hanya jari kakinya yang memberikan wawasan berharga tentang dino-burung purba ini, para paleontolog sangat tertarik pada kaki, tangan, kepala, dan bulu sayapnya.

Misalnya, tulang di langit-langit mulutnya membantu para ahli memahami evolusi kinesis kranial, fitur yang ditemukan pada burung modern--memungkinkan mereka menggerakkan paruhnya secara independen dari tempurung otaknya.

"Mungkin kedengarannya tidak menarik, tetapi bagi para peneliti evolusi burung, ini sangat penting, karena telah dihipotesiskan bahwa kemampuan mengembangkan tengkorak khusus untuk berbagai relung ekologi mungkin telah membantu burung berevolusi menjadi lebih dari 11.000 spesies saat ini," kata O’Connor.

Sayap Berbulu

Spesimen dari Chicago ini juga menawarkan detail fisiologis yang belum pernah terlihat sebelumnya, yang tampaknya akhirnya menjawab pertanyaan lama: bagaimana Archaeopteryx (setidaknya untuk sesaat) dapat terbang?

"Ini sebenarnya bagian favorit saya dari penelitian ini, memberikan bukti bahwa Archaeopteryx menggunakan sayap berbulunya untuk terbang," ujar O’Connor. 

Bukti tersebut berupa keberadaan tertial, sekelompok bulu yang terletak di lengan atas Archaeopteryx yang sangat panjang. Tanpa tertial tersebut, kemungkinan besar hewan ini tidak akan pernah bisa terbang.

"Jika kamu mencoba terbang, memiliki tulang lengan atas yang panjang dapat menciptakan celah antara bulu primer dan sekunder sayap dengan bagian tubuh lainnya," O’Connor memaparkan.

"Jika udara melewati celah itu, akan mengganggu daya angkat yang kamu hasilkan, dan kamu tidak bisa terbang," ia menambahkan.

Terbang seperti Ayam

Sebagian besar burung modern mengatasi masalah itu dengan mengembangkan anggota tubuh yang lebih pendek, disertai dengan bulu tertial mereka.

Meskipun Archaeopteryx memiliki tulang lengan yang panjang, ia juga memiliki tertial dengan ukuran yang proporsional. Banyak kerabat dinosaurusnya memiliki bulu, tetapi pertumbuhannya berhenti di siku dan tidak memiliki tertial yang diperlukan untuk terbang.

"Itu memberi tahu kita bahwa dinosaurus non-avian ini tidak bisa terbang, tetapi Archaeopteryx bisa," kata O’Connor.

Namun, kata "terbang" di sini mungkin perlu diberi catatan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perilaku terbang Archaeopteryx lebih mirip ayam yang mampu meluncur jarak pendek, berbeda dengan elang yang terbang tinggi.

Meski demikian, penelitian terbaru ini juga menunjukkan bahwa bulu-bulu besar ini mungkin juga berperan dalam "komunikasi visual". Terlepas dari kemampuan terbang Archaeopteryx, spesimen dari Chicago ini terus mengungkap detail baru tentang asal-usul burung modern.

"Archaeopteryx bukanlah dinosaurus pertama yang memiliki bulu, atau dinosaurus pertama yang memiliki 'sayap'," imbuh O’Connor memungkaskan.

Infografis Journal Gunung Krakatau

Read Entire Article
Dunia Televisi| Teknologi |