Liputan6.com, Jakarta Paradigma tentang kekekalan alam semesta kembali diguncang. Studi fisika terkini menyatakan bahwa tak ada yang abadi, bahkan jagat raya sekali pun.
Meskipun perhitungan sebelumnya memprediksi akhir alam semesta (kiamat) terjadi dalam rentang waktu yang luar biasa lama, sekitar 10¹¹⁰⁰ tahun (10 pangkat 1100 tahun), penelitian terbaru yang mempertimbangkan sifat unik partikel lubang hitam mengindikasikan bahwa "tirai" alam semesta mungkin akan tertutup jauh lebih cepat dalam skala kosmik.
Sebuah studi yang dijadwalkan terbit dalam Journal of Cosmology and Astroparticle Physics mengungkapkan bahwa sisa-sisa bintang terakhir yang meluruh diperkirakan hanya akan memakan waktu sekitar 10⁷⁸ tahun (10 pangkat 78) tahun.
10⁷⁸ tahun adalah waktu yang tidak bisa dibayangkan secara praktis. Bahkan jika kamu hidup selama usia alam semesta terus berulang miliaran kali, kamu masih belum akan mendekati waktu sebanyak itu.
Mengutip Popular Science, Kamis (15/5/2025), revisi dramatis terhadap siklus hidup alam semesta ini dipicu oleh pemikiran Stephen Hawking.
Pada tahun 1975, astrofisikawan terkemuka tersebut mengajukan teori bahwa beberapa partikel-partikel tertentu ternyata dapat lolos dari tarikan gravitasi lubang hitam yang tampak tak terhindarkan, bertentangan dengan teori relativitas Albert Einstein.
Radiasi Hawking
Melalui perhitungan Hawking, partikel-partikel tertentu dapat menghindari masuk ke singularitas berkat fenomena aneh yang terjadi di tepi lubang hitam.
Di tepi lubang hitam, sepasang partikel dapat terbentuk di tengah kekacauan energi yang berputar. Namun, sebelum mereka bergabung, satu partikel terlontar ke dalam lubang hitam, sementara yang lain terlempar keluar.
Radiasi yang dihasilkan ini, dikenal sebagai "radiasi Hawking," menyiratkan bahwa berbeda dengan keyakinan Einstein, di mana lubang hitam hanya dapat tumbuh dan tidak menyusut. Pergerakan partikel yang hampir tak terdeteksi ini justru menyebabkan pusat ruang-waktu kosmik meluruh secara perlahan.
Dalam sebuah makalah tahun 2023, para peneliti di Universitas Radboud di Belanda mengeksplorasi konsep penguapan lubang hitam, serta implikasinya pada objek lain dengan medan gravitasi seperti bintang katai putih dan bintang neutron.
Efek Mengejutkan
Sejak saat itu, tim tersebut menerima pertanyaan dari seluruh dunia mengenai berbagai implikasi yang mungkin ditimbulkan oleh radiasi Hawking terhadap alam semesta.
Mereka berhipotesis bahwa salah satu dampak paling jelas akan ditemukan pada bintang katai putih, yang dikenal sebagai salah satu objek antarbintang paling awet.
Studi-studi sebelumnya yang tidak memasukkan radiasi Hawking ke dalam persamaan mereka memperkirakan masa hidup bintang katai putih mencapai 10¹¹⁰⁰ tahun.
Namun, perhitungan revisi terbaru yang hanya mempertimbangkan radiasi Hawking menempatkan perkiraan akhir alam semesta pada 10⁷⁸ tahun, jauh lebih cepat dari perkiraan sebelumnya.
"Untungnya, ini masih membutuhkan waktu yang sangat lama," ujar penulis utama studi, Heino Falcke, dalam sebuah pernyataan.
Radiasi Hawking juga tampaknya memiliki efek mengejutkan pada benda-benda langit lainnya. Berdasarkan perkiraan terbaru mereka, baik bintang neutron maupun lubang hitam membutuhkan waktu yang hampir sama untuk meluruh: 10⁶⁷ tahun.
Manusia Mengalahkan Alam Semesta?
Sekilas, ini tampak tidak masuk akal, karena lubang hitam memiliki medan gravitasi yang jauh lebih kuat, yang secara hipotetis seharusnya membuat mereka menghilang lebih cepat.
"Tetapi lubang hitam tidak memiliki permukaan. Mereka menyerap kembali sebagian radiasi mereka sendiri yang menghambat proses tersebut," rekan penulis studi, Michael Wondrak, menjelaskan
Sebagai tambahan yang menarik, tim juga mencoba menghitung berapa lama waktu yang dibutuhkan bagi manusia untuk "menguap" akibat peluruhan radiasi Hawking.
Bagaimanapun, kita memiliki massa dan oleh karena itu tarikan gravitasi yang sangat kecil. Tanpa adanya faktor eksternal lain--misalnya, Matahari menjadi nova atau peluruhan biologis--manusia tidak akan kehilangan semua partikel hingga 10⁹⁰ tahun lagi.
Dalam hal itu, setidaknya manusia "mengalahkan" alam semesta.