Liputan6.com, Jakarta Hadinya Thunderbolts pekan ini menjawab pertanyaan (sebagian pencinta film yang notabene bukan penggemar militan Marvel): Apalagi yang bisa disajikan setelah Avengers: Endgame dan meninggalnya Iron-Man versi Robert Downey Jr.?
Formula dan selera humornya yang digunakan selama beberapa tahun terakhir relatif bisa “diraba” audiens dan bisa jadi, publik menanti gebrakan baru. Thunderbolts dengan Florence Pugh dan Sebastian Stan di luar dugaan mampu menjawab keraguan publik.
Bayangkan. Tak ada Robert Downey Jr yang ikonis. Tanpa Chris Evan yang charming-nya minta ampun dan Scarlett Johansson absen. Di tangan Jake Schreier, film Thunderbolts malah jadi titik balik di mana semua pemain tampil prima sekaligus meyakinkan.
Inilah review film Thunderbolts. Tak salah film ini beroleh tingkat kesegaran 88 persen dari RottenTomatoes. Ini bukan film pahlawan super menyelamatkan dunia. Ia malah mengajukan pertanyaan esensial: siapa musuh manusia sebenarnya?
Di Balik Kongres Adalah Bucky?
Via telepon, Yelena (Florence Pugh) putri Alexei Shostakov (David Harbour) yang selama ini bekerja untuk Valentina (Julia Louis-Dreyfus) ingin pensiun. Permintaan ini dikabulkan. Syaratnya, Yelena mesti menyelesaikan tugas akhir di bunker sedalam 1,6 km di bawah tanah.
Di sana, ada pembelot dengan mengakses bukti-bukti penting. Yelena diminta menghabisi orang ini. Apes. Di sana, ia bertemu John Walker (Wyatt Russell), Antonia Dreykov (Olga Kurylenko), Ava (Hannah John-Kamen), dan Bob (Lewis Pullman).
Sampai di sini, Yelena mencium bau busuk skandal yang berhubungan dengan proyek The Sentry. Suhu dalam bunker mendadak memanas. Tanda-tanda kebakaran (atau sengaja dibakar) mulai tampak. Mau tak mau, mereka bekerja sama agar selamat.
Di sisi lain, Valentina Allegra de Fontaine yang menjabat Direktur Utama CIA sekaligus pemilik Watch Tower menghadapi pemakzulan dari pihak kongres. Salah satu yang berada di balik kongres adalah Bucky (Sebastian Stan).
Tak Ada Kekuatan Super
Tak ada kekuatan super mererawang masa depan, terbang, atau membaca pikiran seseorang. Thunderbolts bergerak dengan sejumlah pertanyaan mendasar misalnya, bagaimana jika orang-orang yang selama ini dianggap second-liner berada di garis depan?
Mengingat, tiap orang berhak mendapat kesempatan tampil atau menunjukkan aura kebintangan. Ndilalah, para tokoh dalam film ini memanfaatkan kesempatan itu dengan maksimal. Yang paling bersinar terang adalah Florence Pugh sebgaai Yelena.
Ia “menangkap” esensi dan mempresentasikan sejumlah momen dengan apik dari pengakuan atas kesepian, rindu figur ayah, mencoba jadi teman baru padahal sendirinya masih meraba-raba bagamana teman sebenarnya. Dan masih banyak lagi.
Florence Pugh Mencapai Klimaks
Dalam Thunderbolts, emosi Florence Pugh mencapai klimaks berkali-kali dan penonton maklum jika tongkat estafet Natasha Romanoff jatuh ke tangannya. Di sisi lain, pertumbuhan yang sama diperlihatkan Wyatt Russell sebagai Kapten Amerika “kelas rendahan.”
Benang merah yang menyatukan Yelena, Alexei, John Walker, Ava, dan Bob adalah masa lalu buruk. Mereka bukan pilihan pertama. “Produk gagal” dalam hidup dan hasil uji coba. Berkali mereka mencoba lepas masa lalu kelam dan melupakan aib pribadi tapi sulit.
Aib termanifestasi lewat visual manusia hitam legam seperti tampak dalam trailer (siapa dia dan mengapa begitu, silakan Anda tonton sendiri). Dari dia, pemahaman penonton di bawa ke level basic tentang siapa musuh manusia sebenarnya.
Menjadi Aksi Psikologis
Pada babak ini, Thunderbolts bukan lagi bergenre action-adventure melainkan aksi-psikologis yang berbicara soal jiwa hampa, kesepian, kekerasan dalam rumah tangga, berdamai dengan masa lalu, pentingnya penerimaan diri, dan kehadiran sahabat yang tidak menghakimi.
Penulis naskah Eric Pearson dan Joanna Calo juga bicara soal ego jangan dilawan. Jika ego mati, maka mati pula karakter seseorang. Masa lalu jangan dimatikan. Tanpa masa lalu, tak ada masa depan. Berdamai dengan ego dan masa lalu sejatinya tak bisa dilakukan sendirian.
Visual Ruang-ruang Aib
Babak ketiga menyajikan semua itu dengan kedalaman tak terduga. Visual ruang-ruang aib masa lalu yang tak bisa diperbaiki (karena kadung terjadi dan tidak ada Doctor Strange di sini), adalah bagian paling menyesakan dada.
Terasa real dan relate karena kita akan selalu mengingat bahkan setelah kita mengikhlaskan sekalipun. Disajikan dengan cipratan humor khas Marvel, Thunderbolts tak lantas kehilangan jati dirinya sebagai bagian dari jagat sinema Marvel itu sendiri.
Lebih dari itu, film ini meletakkan fondasi baru dengan pesan kuat. Jangan sok mau menyelamatkan dunia jika belum mampu menyelamatkan diri sendiri dari rasa bersalah dan takut pada masa lalu. Selesaikan dulu masalah sendiri baru mengurusi dunia.
Kejutan di Awal Musim Panas
Thunderbolts kejutan di awal musim panas. Ia angin segar di tengah stagnasi film setelan pabrik dalam beberapa tahun terakhir. Setidaknya, ada dua daya tarik utama Thunderbolts. Pertama, semua pemain tampil dalam porsi pas bahkan prima.
Kedua, naskah solid dengan tema “menusuk.” Visualnya memang fantasi. Maknanya membawa kita bertanya pada hal-hal fundamental seperti: Sudahkah kita menerima diri sendiri termasuk kesalahan, kegagalan, dan aib masa lalu?
Pemain: Florence Pugh, Sebastian Stan, Wyatt Russell, Olga Kurylenko, Lewis Pullman, David Harbour, Hannah John-Kamen, Julia Louis-Dreyfus
Produser: Kevin Feige
Sutradara: Jake Schreier
Penulis: Eric Pearson, Joanna Calo
Produksi: Marvel Studios, Walt Disney Studios
Durasi: 126 menit