Review Film Abadi Nan Jaya: Zombie dari Jawa Unjuk Gigi, Brutal hingga Bangkitkan Trypophobia

3 hours ago 2

Liputan6.com, Jakarta "Jamu yang akan mengubah dunia. Bapak namakan jamu ini, jamu Abadi Nan Jaya," kata Sadimin sambil merengkuh botol-botol kecil di tangannya. Botol kecil yang isinya telah mengubah kepala penuh ubannya menjadi kembali hitam legam, otot tubuhnya kembali mengencang, keriput pun menghilang. Semua secara instan. 

Dan benar saja, jamu ini mengubah dunia. Tapi bukan seperti imajinasinya. 

Tak lama setelah bersukacita dengan penampilannya yang kembali muda, Sadimin ambruk. Ia kejang-kejang hebat, membuat pertikaian keluarganya berhenti. Istrinya yang masih muda, Karina (Eva Celia), juga anak dan menantunya Kenes (Mikha Tambayong), Bambang (Marthino Lio), dan Rudy (Dimas Anggara) hingga cucunya Raihan (Varen Arianda Calief)  kaget bukan kepalang ketika Sadimin mendadak jadi liar.

Pria ini mencoba menyerang siapa pun yang berada di dekatnya, menggigit dan melahap bagian tubuh mana pun yang ia bisa. 

 Meski tingkah liar Sadimin berhasil diatasi, teror tak berhenti sampai di sini. Korban gigitan Sudimin menunjukkan gelagat serupa. Tak butuh waktu lama, desa kecil Wenirejo dibanjiri teror oleh para penduduknya yang haus darah. 

Dalam situasi tegang ini Bambang dan Karina terpisah dari keluarganya yang lain. Bisakah mereka keluar hidup-hidup dari mimpi buruk ini?

Puluhan warga Sheffield, Inggris merayakan hari Halloween dengan berdandan ala zombie dan melakukan flashmob (30/10).

Promosi 1

Zombie Lokal +62: Dari Biduan Dangdut hingga Bapak-Bapak Berbaju Batik

Misi sutradara Kimo Stamboel dalam Abadi Nan Jaya yang tayang di Netflix ini, bukan hanya menghadirkan kengerian. Tapi juga membawa imajinasi tentang zombie outbreak dengan latar kelokalan Indonesia. Karenanya, dari hulu hingga hilir, beragam elemen lokal dilekatkan dalam monster yang selama ini lebih akrab diangkat dalam sinema barat. 

Mulai dari jamu, yang menyimbolkan harapan awet muda manusia. Juga penampilan para zombie yang khas Indonesia banget: dari bapak-bapak berbaju batik hingga biduan dangdut dengan dandanan gonjreng. Ada pula petasan, azan, hingga warga lokal yang ramai-ramai menghadiri acara dengan numpang truk. Tak cuma memberi sensasi familiar, tapi juga menghadirkan senyum tipis-tipis. 

Elemen lain yang membuat Abadi nan Jaya berbeda, alih-alih menempatkan chaos wabah zombie di kota besar, setting cerita film ini berada di sebuah pedesaan di sudut Yogyakarta. Kondisi di mana para karakternya terjebak di desa terpencil dengan akses yang sulit, menghadirkan sensasi  tersudut--hampir seperti klaustrofobik meski setting berada di ruang terbuka. 

Suasana surreal juga langsung terasa, saat sawah menghijau nan asri  dan damai--pemandangan yang begitu akrab untuk warga Indonesia--dibelah oleh ratusan zombie yang berlari liar bak kesetanan. 

Tarik Ulur Ketegangan

Namanya juga filmnya Kim Stamboel, Abadi nan Jaya tentu menghadirkan body horror yang nampol. Mulai dari kepala yang meleduk, badan yang potek jadi dua, hingga kulit berlubang yang mengingatkan pada karya Kimo sebelumnya di Ratu Ilmu Hitam yang bisa memicu trypophobia. 

Tak seperti mayat hidup dalam film klasik Dawn of the Dead (1978) yang jalannya alon-alon, di sini zombienya begitu ngebut saat berburu mangsa--terlihat begitu lapar bak kesambet sehingga kadar ketegangan meroket. Menariknya, sepanjang film para mayat hidup tak disebut sebagai zombie.  

Plot cerita dibagi menjadi dua, yang satu mengikuti perjalanan Kenes dan Bambang, sementara Rudy, Karina dan Raihan berada di belahan desa lain. Masing-masing memiliki ketegangan yang terjalin rapat dan silih berganti. 

Drama Keluarga dan Romansa

Di luar kengerian malapetaka mayat hidup, diselipkan jalinan drama keluarga dan romansa dalam Abadi nan Jaya. Sepanjang pergulatan untuk bertahan hidup, keluarga Sadimin yang disfungsional pelan-pelan mengurai perasaan benci dan luka di antara mereka. 

Ada pula kisah cinta antara pasangan Rahman (Ardit Erwandha), seorang polisi yang sudah menyiapkan cincin dan berniat melamar sang kekasih, Ningsih (Claresta Taufan Kusumarina). 

Sebagian sisipan drama, memang membuat perasaaan tercubit. Namun ada pula yang membuat geregetan, sempat-sempatnya mencurahkan perasaan saat nyawa jadi taruhan. Namun bila dipikir, justru itu bisa jadi perenungan tersendiri. Saat maut di depan mata, kapan lagi ada kesempatan untuk menyampaikan isi hati?

Read Entire Article
Dunia Televisi| Teknologi |