Liputan6.com, Jakarta - Setiap orang pasti pernah terlelap dalam buai mimpi. Tahukah kamu mengapa kita bisa bermimpi saat tidur?
Menurut Sigmund Freud, seorang neurolog Austria sekaligus pendiri psikoanalisis, mimpi adalah jendela menuju konflik tak terselesaikan yang terkubur dalam alam bawah sadar kita.
Teori Freud, yang diperkenalkan dalam bukunya "The Interpretation of Dreams" pada tahun 1899, memicu perdebatan sengit.
Kritikus berpendapat bahwa interpretasi mimpinya terlalu berfokus pada seksualitas, sangat subjektif, dan sulit diverifikasi. Dua analis bahkan bisa memberikan penafsiran yang berbeda untuk mimpi sama, tanpa ada cara objektif untuk menentukan mana yang benar.
Sejak era Freud, sejumlah ilmuwan lain menjelaskan alternatif mengenai alasan kita bermimpi. Salah satu teori yang paling menonjol adalah teori simulasi ancaman, yang dipaparkan oleh ahli saraf dan psikolog Finlandia, Antti Revonsuo, pada tahun 2000.
Mengutip Popular Science, Minggu (22/6/2025), teori ini menyatakan bahwa bermimpi adalah mekanisme pertahanan biologis.
Dengan mensimulasikan situasi berbahaya, otak kita melatih keterampilan yang dibutuhkan untuk mengenali dan menghindari ancaman--sebuah arena pelatihan realitas virtual untuk bertahan hidup.
Studi pada tahun 2005 mendukung teori ini dengan meneliti mimpi anak-anak Kurdi yang terpapar perang dan trauma.
Dibandingkan dengan anak-anak Finlandia yang tidak mengalami trauma, anak-anak Kurdi lebih sering melaporkan mimpi yang penuh dengan ancaman berat. Hal ini menunjukkan bahwa pikiran mereka sedang berlatih cara mengatasi bahaya.
Masih dalam Perdebatan
Namun, teori simulasi ancaman pun tak luput dari perdebatan. Sebuah studi tahun 2008 membandingkan penduduk di daerah dengan tingkat kejahatan tinggi di Afrika Selatan dengan mereka yang tinggal di daerah dengan tingkat kejahatan rendah di Wales.
Hasilnya menunjukkan bahwa partisipan dari Afrika Selatan, meskipun menghadapi lebih banyak ancaman di dunia nyata, justru melaporkan lebih sedikit mimpi yang mengancam dibandingkan dengan partisipan dari Wales.
Temuan ini menantang gagasan bahwa otak menggunakan mimpi untuk mensimulasikan bahaya saat terpapar trauma.
Teori lain menyatakan bahwa mimpi hanyalah efek samping dari konsolidasi memori, yaitu cara otak memutar ulang dan memperkuat ingatan baru saat kita tidur.
Saat hippocampus dan neokorteks otak bekerja sama untuk menyimpan informasi baru, mereka mungkin juga menggabungkannya dengan ingatan lama, menciptakan gabungan aneh yang sering kita alami sebagai mimpi.
Mimpi Bantu Mengelola Emosi
Mimpi juga mungkin membantu kita memproses dan mengelola emosi, terutama emosi negatif (baik untuk kesehatan mental), menurut teori regulasi emosi dalam mimpi.
Penelitian yang berfokus pada individu yang baru bercerai dan mengalami depresi menemukan bahwa partisipan yang bermimpi tentang mantan pasangannya lebih mungkin menunjukkan peningkatan suasana hati signifikan satu tahun kemudian, terutama jika mimpi mereka jelas dan kaya akan emosi.
Ini menunjukkan bahwa mimpi dapat membantu mengubah tekanan emosional menjadi ketahanan. Studi pencitraan otak terbaru mendukung gagasan ini.
Orang yang sering mengalami mimpi terkait rasa takut menunjukkan pengurangan aktivitas di pusat rasa takut otak saat bangun, mengisyaratkan bahwa mimpi-mimpi ini mungkin berfungsi sebagai semacam sesi terapi semalam, membantu kita mengatur emosi dengan lebih baik saat terjaga.
Pada akhirnya, Barrett berpendapat bahwa kita mungkin mengajukan pertanyaan yang kurang tepat. "Kita jarang menanyakan pertanyaan serupa: 'Apa tujuan berpikir?'" katanya.
Sama seperti pikiran saat bangun tidur yang memiliki banyak fungsi--mulai dari perencanaan hingga pemecahan masalah hingga melamun--mimpi kemungkinan juga demikian.
"Nilai mimpi terletak pada perbedaannya. Ini adalah mode berpikir yang berbeda--yang melengkapi dan memperkaya kognisi kita saat bangun," ia menambahkan.
Ruang Mental Unik
Faktanya, beberapa peneliti percaya bahwa mimpi menawarkan ruang mental unik untuk memecahkan masalah yang membuat kita bingung di siang hari.
Dalam kondisi otak yang berubah ini, wilayah yang bertanggung jawab atas imajinasi menjadi lebih aktif, memungkinkan pikiran untuk memecahkan masalah yang membutuhkan visualisasi.
Sejarah mencatat banyak contoh terkenal: Mary Shelley dilaporkan memimpikan adegan utama Frankenstein; ahli kimia Jerman August Kekulé membayangkan struktur cincin benzena dalam mimpi; dan ahli kimia Rusia Dmitri Mendeleev memimpikan bentuk akhir tabel periodik unsur-unsur.
Kesimpulannya, mimpi mungkin memiliki banyak tujuan atau mungkin tidak sama sekali, tetapi mimpi mengingatkan kita bahwa dalam tidur, otak tidak pernah benar-benar beristirahat.