Koalisi soal Vonis Tentara Kasus Pembunuhan: Hukum Tunduk Pada Seragam

5 hours ago 2

Jakarta, CNN Indonesia --

Sejumlah organisasi yang tergabung dalam Koalisi Sipil untuk Reformasi Keamanan mengkritik vonis ringan terhadap sejumlah tentara yang terlibat kasus penganiayaan berujung kematian terhadap korban.

Vonis ringan terjadi pada kasus penembakan yang menewaskan bos rental di Jakarta serta penganiayaan terhadap siswa SMP di Medan hingga korban tewas. Kasusnya diadili baik di tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung (MA) maupun peradilan militer.

Pada kasus bos rental, MA pada 2 September mengubah hukuman terhadap dua mantan prajurit TNI Angkatan Laut (AL) yakni Akbar Adli dan Bambang Apri Atmojo selaku penembak bos rental mobil Ilyas Abdurrahman. Keduanya lolos dari pidana penjara seumur hidup.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam putusan di tingkat kasasi, Akbar dan Bambang akhirnya dihukum pidana 15 tahun penjara dan pidana tambahan dipecat dari dinas militer. Keduanya juga dihukum membayar restitusi kepada keluarga korban.

Selain itu, MA juga mengurangi hukuman terdakwa Rafsin Hermawan dari semula empat tahun penjara menjadi tiga tahun. Rafsin juga dipecat dari dinas militer.

Tak berselang lama, majelis hakim Pengadilan Militer I-02 menjatuhkan vonis 10 bulan penjara kepada Sertu Riza Pahlivi yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan kematian pelajar SMP di Medan inisial MHS.

Selain penjara 10 bulan, Sertu Riza diwajibkan membayar restitusi kepada pemohon Lenny Damanik (ibu MHS) sebesar Rp 12,7 juta.

Koalisi sipil menyebut rangkaian vonis ringan terhadap anggota TNI dalam kasus-kasus itu menunjukkan praktik impunitas.

"Dalam beberapa bulan terakhir, publik disuguhkan berbagai putusan ringan bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana, menandakan bahwa supremasi hukum dan agenda reformasi sektor keamanan telah mandek setelah lebih dari dua dekade pascareformasi 1998," kata Direktur YLBHI, Muhammad Isnur mewakili koalisi dalam keterangannya, Rabu (22/10).

Secara khusus koalisi sipil menyorot kasus di Medan yang menewaskan siswa SMP inisial MHS, namun pelaku sebagai tentara hanya dihukum 10 bulan.

"Putusan ini bahkan lebih ringan dari hukuman terhadap kasus-kasus pidana ringan seperti pencurian," ujarnya.

"Kejanggalan dalam pertimbangan hakim, seperti menyebut korban tidak memiliki luka bekas sesuai keterangan saksi, kian memperkuat pandangan bahwa proses militer merupakan ruang tertutup yang 'tidak dapat disentuh' dan tidak memenuhi standar transparansi serta akuntabilitas," imbuhnya.

Kasus vonis di Medan juga dinilai semakin menunjukkan bahwa keadilan bagi warga sipil korban kekerasan militer masih jauh dari harapan.

Isnur menambahkan bahwa fakta-fakta tersebut menggambarkan pola yang terus berulang, yakni ketika pelakunya berasal dari institusi militer, proses hukum menjadi tertutup, perlakuan tidak setara terjadi, dan hukuman tidak proporsional dijatuhkan.

"Hukum tampak tunduk pada seragam dan pangkat, bukan pada keadilan. Keadilan sering dikorbankan demi melindungi citra dan solidaritas korps (esprit de corps), yang disalahartikan sebagai loyalitas membabi buta antaranggota militer," katanya. 

Oleh karenanya, Koalisi, kata Isnur, mendesak pemerintah dan DPR RI untuk segera merevisi UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Koalisi meminta seluruh tindak pidana umum yang dilakukan dan melibatkan anggota TNI diadili di peradilan umum.

"Tanpa revisi UU Peradilan Militer maka Impunitas terhadap kejahatan anggota TNI akan terjadi, sekaligus melanggengkan keberulangan perbuatan oleh anggota TNI lainnya," katanya.

Sejumlah organisasi yang tergabung dalam koalisi antara lain, Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI, Amnesty International Indonesia, ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALHI, SETARA Institute, Centra Initiative, hingga ICW.

(thr/isn)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Dunia Televisi| Teknologi |