10 Lagu Kritik Sosial Terbaik Sebelum Sukatani untuk Rayakan Hari Musik Nasional: Slank hingga Iwan Fals

9 hours ago 1

Liputan6.com, Jakarta Saban 9 Maret, kita merayakan Hari Musik Nasional. Ndilalah, 2 minggu sebelumnya, jagat maya geger gara-gara lagu kritik sosial untuk salah satu institusi negara, berjudul “Bayar Bayar Bayar.” Saking geger, Kapolri Listyo Sigit Prabowo menyampaikan pernyataan sikap.

“Bayar Bayar Bayar” salah satu hit dari band punk asal Purbalingga, Jawa Tengah, Sukatani. Lagu bermuatan kritik sosial sebenarnya bukan “barang” baru di belantika musik Indonesia. Jauh sebelum itu, ada “Memang” dari Slank yang dirilis persis di awal dekade 1990.

Iwan Fals pun memotret banyak masalah sosial dari nasib guru lewat “Guru Oemar Bakrie” hingga harga bensin naik dalam “Galang Rambu Anarki.” Kita tak perlu tersinggung dengan kritik nyelekit yang sejatinya bisa dijadikan cermin diri. Introspeksi dan perbaikan adalah kunci.

Merayakan Hari Musik Nasional, Showbiz Liputan6.com merangkum 10 lagu kritik sosial terkeren didasari kemampuannya menembus ruang dan waktu, popularitas, hingga relevansi tema. Ditulis belasan bahkan puluhan tahun silam, ketajamannya awet meski tanpa bantuan formalin.

Ini versi kami. Anda boleh punya versi lain. Dengerin ulang, yuk!

Promosi 1

1. Kupu-Kupu Malam (Titiek Puspa)

Karya: Titiek Puspa

Album: Autobiografi

Produksi: DD Record (1977)

Tema purba itu bernama prostitusi. Setelah para pemimpin yang alim nan religius menutup lokalisasi, apakah masalah sosial ini lenyap ditelan bumi? Tunggu dulu. Kecanggihan teknologi melahirkan aplikasi. Di sanalah transaksi produsen dengan konsumen terjadi.

Ini tak kalah berbahaya. Titiek Puspa mengulas ini dengan perspektif tak memihak atau berat sebelah. Anggunly, ia bertanya, “Dosakah yang ia kerjakan?” Jelas semua orang menjawab ya. Pertanyaan berikutnya, “Sucikah mereka yang datang?”

“Kupu-kupu Malam” adalah manifestasi kecerdasan bermusik dengan fondasi kuat bernama empati dari seorang Titiek Puspa. Kecerdasan. Empati. Dua hal yang belakangan susah ditemui di tengah masyarakat yang makin judgemental. Salut, Eyang Titiek!

2. Kemarau (News Rollies)

Karya: Oetje F. Tekol dan A. Tirtodibroto

Album: Kemarau

Produksi: Musica Studio’s (1978)

Saat menulis artikel ini, iseng kami mengetik kata deforesasi di mesin pencarian Google lalu muncul tajuk berita, “UGM dan KOBI Tolak Deforestasi Lewat Perluasan Perkebunan Kelapa Sawit.” Berita lain, “Ormas Sipil Adukan Deforestasi di Papua ke Uni Eropa.”

Di sisi lain, banjir di Bekasi dan Jakarta dengan ketinggian menyentuh atap rumah penduduk tempo hari jelas bukan tanpa sebab. Banyak hutan disulap jadi tembok dan beton. Hampir setengah abad lalu, News Rollies telah meratapi makin sempitnya hutan di Indonesia.

Padahal kala itu, Indonesia masih digelari salah satu paru-paru dunia. Tanpa basa-basi, News Rollies melontar pertanyaan repetitif dalam refrein: Mengapa hutanku hilang dan tak pernah tumbuh lagi? Berkali ganti presiden, pertanyaan New Rollies tak pernah terjawab.

3. Jenuh (Ahmad Albar)

Karya: Guruh Soekarnoputra

Album: Untukmu Indonesiaku! Pergelaran Karya Cipta Guruh Soekarnoputra

Produksi: Musica Studio’s (1980)

Nanti, saat mudik Lebaran via jalur darat, jangan kaget jika kena macet berjam-jam. Jangan mengeluh, “Duh, gue tua di jalan!” Lonjakan populasi kendaraan pribadi yang tak pernah diimbangi penambahan ruas jalan telah menjadi masalah klasik dan cerita klise.

Harap dicatat, 45 tahun sebelumnya, Guruh Soekarnoputra pusing duluan akibat kebisingan kota besar. Ia mengomel, “Bunyi klakson bib bib bib bib bib bib bib gaduh! Orang-orang acuh acuh acuh tak acuh! Ku menjerit aduh aduh aduh aduduh! Aku frustrasi kumerasa jenuh. Masa bodoh!”

Pada 2006, “Jenuh” direkam ulang Erwin Gutawa dengan Pinkan Mambo sebagai vokalis untuk album Rockestra. Serius, performa Pinkan di nomor ini benar-benar slay! Mantan vokalis Ratu ini benaran mendapat wadah untuk jerit-jerit manja meluapkan kekesalan. 

4. Astaga (Ruth Sahanaya)

Karya: James F Sundah

Album: Seputih Kasih

Produksi: Aquarius Musikindo (1987)

Mengurus urusan masing-masing tak harus membuat orang jadi tak peduli pada lingkungan sekitar. Penyakit sosial ini menjalar dari dekade 1980 hingga Generasi Instagram. James F. Sundah yang tak habis pikir mengekspresikan kegelisahannya hanya dalam satu kata: Astaga!

Meminjam vokal powerful Ruth Sahanaya, jadilah “Astaga” hit besar dari album debut Sang Macan Festival. “Astaga” menjelma ekspresi kegelisahan atas keegoisan dan cuek di level akut. Ia menjadi reminder bahwa musuh terbesar umat manusia sejatinya diri sendiri. Dan waktu.

Sementara yang lainnya duduk seenaknya

Seakan waktu takkan pernah ada akhirnya

Hanya mengejar kepentingan diri sendiri

Lalu cuek akan derita sekitarnya

Oh, oh astaga!

5. Surat Untuk Wakil Rakyat (Iwan Fals)

Karya: Iwan Fals dan Ma'mun

Album: Wakil Rakyat

Produksi: Musica Studio’s (1987)

Tidak ada back up di Pusat Data Nasional. Data pribadi kita tidak dipandang penting. KITA tidak penting. Terima saja. Memangnya sejak kapan rakyat dianggap penting selain di bilik suara,” begitu Najwa Shihab mencuit pada Juni 2024.

Omong-omong soal bilik suara, di sana kita memilih pemimpin dalam berbagai level termasuk wakil rakyat. Satu pertanyaan kemudian menyembul: Setelah pemilu usai, masihkah suara rakyat didengar oleh wakil yang terpilih?

Selama kita masih melihat banyak kursi kosong dalam rapat di Senayan. Selama kita masih melihat wakil rakyat rapat sambil main slot bahkan ketiduran. Selama itulah imbauan Iwan Fals relevan: Wakil rakyat seharusnya merakyat, jangan tidur waktu sidang soal rakyat...

6. Judi (Rhoma Irama)

Karya: Rhoma Irama

Album: Soneta Volume 14

Produksi: Soneta Record (1988)

Siapa bilang judi harus pakai kartu atau kudu punya ayam. Kecanggihan teknologi membuat taruhan uang cukup dengan beberapa kali klik dari gadget. Dampaknya semengerikan judi konvensional dan Rhoma Irama telah mewanti-wanti ini sejak lama.

“Bohong, kalaupun kau menang itu awal dari kekalahan. Bohong, kalaupun kau kaya, itu awal dari kemiskinan,” demikian Rhoma Irama bersabda. Yang kaya bisa jadi melarat apalagi yang miskin. Celakanya, dampak judol tak berhenti di urusan finansial.

“Kasus Polwan Bakar Suami, Ironi Pemberantasan dan Candu Judi Daring,” demikian situs berita daring mengabarkan, tahun lalu. Percayalah, ini hanya salah satu dari beribu kasus di republik yang konon, gemah ripah loh jiwani...

7. Rumah Kita (God Bless)

Karya: Ian Antono dan Theodore KS

Album: Semut Hitam

Produksi: Logiss Records (1988) 

Anda boleh menerjemahkan “Rumah Kita” kritik terhadap fenomena perpindahan penduduk dari desa ke kota. Untuk apa meninggalkan rumah? Meski sederhana dan hanya ada anyelir, itu “surga” kita di dunia. Atau, justru lagu ini memotivasi kita punya rumah sendiri.

Caranya dengan menjawab harus, untuk pertanyaan yang dituang dalam lirik, “Haruskah kita beranjak ke kota yang penuh dengan tanya?” Anda juga boleh memaknai “Rumah Kita” sebagai ingat pulang, sejauh apapun kaki melangkah demi mengubah nasib.

Direkam ulang Indonesian Voices dalam album kompilasi Tribute To Ian Antono pada 2004, “Rumah Kita” lagi-lagi terasa relevan dengan masalah sosial belakangan yang menyebut Gen Z susah beli rumah. Gajinya mepet, kebanyakan healing, atau ada faktor lain?

8. Memang (Slank)

Karya: Slank

Album: Suit-Suit... He-He (Gadis Sexy)

Produksi:  Proyek Q (1990)

Jauh. Jauh sebelum masyarakat dunia kenal istilah flexing, geng dari Gang Potlot ini telah menyuarakan pentingnya menjadi diri sendiri dan bangga dengan apa yang dimiliki. Pada hakikatnya, penampilan tak 100 persen mencerminkan jati diri seseorang.

Alangkah malu jika ke mana-mana tampil mewah sampai dijuluki Crazy Rich kawasan anu, lalu beberapa tahun kemudian diseret ke pengadilan atas kasus korupsi dan TPPU. Itu kalau masih punya malu. Slank dengan kritis sekaligus santuy menyuarakan ini lewat “Memang.”

Memang kantongku memang kering

Jangan menghina yang penting bukannya maling

Memang jaketku memang kotor

Jangan menghina yang penting bukan koruptor

9. Distorsi (Ahmad Band)

Karya: Ahmad Dhani

Album: Ideologi Sikap Otak

Produksi: Aquarius Musikindo (1998)

Ahmad Dhani di dekade 1990 adalah genius. Akui saja. Salah satu kegeniusannya terjadi kala Dewa 19 vakum. Ia membangun Ahmad Band yang menyemburkan keresahan situasi politik menjelang dan terjadinya reformasi dengan didahului krisis ekonomi.

“Distorsi” bentuk amarah Ahmad Dhani terhadap pemerintah yang korup. Ia pun mendamprat mahasiswa karena rajin demonstrasi tapi sregep juga mabuk-mabukan. Kesinisan “Distorsi” mencapai klimaks pada refrein sepedas sambal mercon level 100: 

Yang muda mabuk, yang tua korup

Yang muda mabuk, yang tua korup

Mabuk terus, korup terus

Jayalah negeri ini!

Jayalah negeri ini!

Merdeka!

10. Di Udara (Efek Rumah Kaca)

Karya: Cholil Mahmud

Album: Efek Rumah Kaca

Produksi: Paviliun Records (2007)

Dua jam sebelum mendarat di Bandara Schiphol Amsterdam, Belanda, Munir meninggal dunia. Tragedi ini terjadi pada 7 September 2004. Dua bulan kemudian, polisi Belanda menemukan jejak senyawa arsenik setelah otopsi. Dalang yang meracuni Munir hingga kini tak terkuak.

Tak terkuak atau memang tidak dikuak? Entahlah. Efek Rumah Kaca dengan lantang menyuarakan keadilan untuk Munir dalam lirik, “Aku bisa diracun di udara, aku bisa terbunuh di trotoar jalan.” Jasad telah dikubur. Raga pun sirna dilebur waktu.

Namun, ingatan menolak lupa. Perjuangan menolak padam. “Tapi aku tak pernah mati, tak akan berhenti,” demikian lirik lagu “Di Udara.” Marsinah. Ita Martadinata Haryono. Munir. Dan setumpuk nama lain hingga kini menanti datangnya keadilan. Bilakah ia datang?

Pelakon memainkan musikal sinematik City of Love di Plenarry Hall Jakarta Convention Center, Jakarta, Jumat (14/2/2025). (Liputan6.com/Herman Zakharia)
Read Entire Article
Dunia Televisi| Teknologi |