Pidana Mati dalam Perspektif Hukum dan Hak Asasi Manusia: Antara Urgensi dan Kontroversi

14 hours ago 5

loading...

Aulia Imran Mahasiswa S1 Hukum Universitas Nasional, Jakarta. Foto/istimewa

Aulia Imran
Mahasiswa S1 Hukum Universitas Nasional, Jakarta.

PIDANA mati telah lama menjadi topik perdebatan klasik dalam hukum pidana. Sebagian menganggapnya sebagai jalan terakhir untuk menegakkan keadilan atas kejahatan luar biasa, sementara yang lain melihatnya sebagai bentuk kekerasan negara yang dilegalkan. Di Indonesia, pidana mati masih eksis dan dilegalkan dalam hukum positif, terutama untuk kasus terorisme, narkotika, pembunuhan berencana, dan korupsi berat. Namun, keberadaannya kini semakin problematis ketika dihadapkan pada prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) yang menjunjung tinggi hak untuk hidup sebagai hak non-derogable.

Indonesia memang belum mencabut pidana mati dari sistem hukumnya. Bahkan, KUHP baru dalam Pasal 98 masih mengakomodasi pidana mati secara alternatif dengan masa percobaan. Artinya, negara belum siap sepenuhnya untuk meninggalkan instrumen hukuman paling ekstrem ini. Ironisnya, di tengah berbagai revisi hukum yang mengarah ke modernisasi dan penghormatan HAM, pidana mati tetap menjadi bagian dari sistem pidana kita. Ini menunjukkan adanya tarik-menarik antara kebutuhan hukum nasional dan tekanan hukum internasional.

Pihak yang mendukung pidana mati sering mengemukakan alasan keadilan retributif, efek jera, dan perlindungan masyarakat. Dalam kasus seperti Freddy Budiman atau pelaku bom Bali, argumentasi tersebut tampak cukup kuat. Kejahatan luar biasa menimbulkan luka mendalam dan ketakutan luas di masyarakat. Dalam konteks ini, pidana mati dianggap sebagai penebus moral dan pemulih martabat negara serta korban.

Namun, pertanyaan penting yang perlu diajukan adalah: apakah pidana mati benar-benar efektif mencegah kejahatan? Data menunjukkan bahwa kasus narkoba dan pembunuhan tetap terjadi meski pidana mati sudah dijatuhkan. Jika efek jera tidak terbukti secara empiris, maka fungsi preventif dari pidana mati patut dipertanyakan. Justru ini membuka ruang untuk berpikir ulang tentang bentuk hukuman yang lebih adil dan solutif.

Kekhawatiran utama dalam praktik pidana mati adalah risiko kesalahan dalam proses peradilan. Sistem hukum bukanlah sistem yang sempurna. Jika seseorang yang tidak bersalah dihukum mati, maka tidak ada ruang untuk memperbaiki kesalahan. Ini menjadi kritik tajam terhadap keberadaan pidana mati, sebab kekeliruan satu kali saja akan menimbulkan pelanggaran HAM yang tidak dapat diperbaiki seumur hidup.

Dari sisi HAM, pidana mati jelas bertentangan dengan prinsip dasar bahwa setiap manusia berhak hidup, tanpa syarat. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, ICCPR, dan UUD 1945 telah menegaskan bahwa hak hidup tidak boleh dicabut, bahkan oleh negara. Maka, dalam pandangan ini, pidana mati bukan hanya bentuk hukuman, tapi juga tindakan pelanggaran terhadap harkat dan martabat manusia.

Read Entire Article
Dunia Televisi| Teknologi |