Jadi intinya...
- Mahasiswa UNNES gelar teater "The Roaring Twenties" dengan sukses.
- Proyek ini wujudkan SDG ke-4, pendidikan berkualitas.
- Penonton terkesan akting, kostum, dan alur drama.
Liputan6.com, Jakarta - Mahasiswa Program Studi Sastra Inggris Universitas Negeri Semarang (UNNES) angkatan 2023 memukau penonton lewat pertunjukan teater bertajuk The Roaring Twenties, yang dipentaskan di Gedung Pertunjukan B6 Fakultas Bahasa dan Seni pada Rabu, 13 Juni 2025. Drama ini menjadi puncak tugas akhir mata kuliah Theatre, sekaligus bentuk nyata kontribusi terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) ke-4 yaitu Pendidikan Berkualitas.
Dalam proyek ini, mahasiswa tidak hanya membaca dan menganalisis teks drama, tetapi juga menghidupkannya lewat proses kreatif yang intens, mulai dari penyutradaraan, akting, desain kostum, tata panggung, hingga promosi. Kegiatan ini menjadi wadah pembelajaran langsung tentang berpikir kritis, kerja tim, dan komunikasi yang efektif.
Antusiasme publik pun sangat tinggi. Lebih dari 400 tiket ludes terjual, dan area pertunjukan dipadati penonton dari berbagai kalangan. Pementasan dibagi menjadi empat sesi dengan empat drama berbeda yang seluruhnya merupakan pemenang Pulitzer di era 1920-an, menghadirkan nuansa sejarah dan isu sosial yang tetap relevan.
Acara dibuka secara resmi oleh Koordinator Prodi Sastra Inggris UNNES, Dr. Rahayu Puji Haryanti, M.Hum., yang menyatakan rasa bangga dan apresiasinya terhadap kerja keras mahasiswa. Ia menyebut, teater seperti ini harus terus dikembangkan sebagai bentuk pembelajaran menyenangkan dan bermakna.
Komitmen Pendidikan Lewat Proyek Teater
Ketua panitia “The Roaring Twenties”, Sefind Xena Pratama Ghozali, menegaskan bahwa proses kreatif ini telah mengasah banyak soft skill penting seperti manajemen waktu, kedisiplinan, kreativitas, hingga kerja sama tim. Menurutnya, tugas akhir berbasis proyek seperti ini sangat efektif dalam mempersiapkan mahasiswa menghadapi dunia kerja dan kehidupan nyata.
Empat drama yang dipentaskan antara lain Miss Lulu Bett (1921) karya Zona Gale, Strange Interlude (1928) oleh Eugene O’Neill, Craig’s Wife (1926) oleh George Kelly, dan Icebound (1923) karya Owen Davis. Keempatnya disutradarai oleh mahasiswa: Alfareza Ramadhani Al Majid, Aqila Ayu Karlina, Mohammad Rifqy Radityo, dan Maulana Anwar Sidik.
Respons Positif Penonton
Pentas ini disambut sangat positif oleh para penonton. Alen, salah satu penonton yang menyaksikan dua pementasan awal, menyebut Miss Lulu Bett sebagai favoritnya karena mengangkat tema women empowerment yang kuat. “Awalnya agak bingung, tapi setiap drama punya bagian yang ikonik,” ujarnya, dalam rilis yang diterima Liputan6.com.
Penonton lainnya, Ainul dan Hetinia, juga memuji kualitas akting dan kostum yang ditampilkan. “Karakter utamanya kuat banget,” kata Ainul, disambut Hetinia yang menyukai desain kostum yang autentik dan mencerminkan era 1920-an.
Empat Drama, Empat Rasa
Naura, penonton yang mengikuti keempat sesi, menyebut Icebound sebagai pementasan terbaik. “Akting dan penguasaan panggungnya sangat kuat,” tuturnya. Sementara itu, dua penonton lainnya, Nabil dan Naufal, menjagokan Craig’s Wife karena alur yang seru dan emosi yang tersampaikan secara mendalam.
Keberhasilan ini membuktikan bahwa teater klasik masih sangat relevan dan menarik bagi generasi muda, apalagi jika dipentaskan dengan dedikasi dan totalitas seperti yang dilakukan mahasiswa UNNES ini.
Teater Klasik, Dipadu dengan Era Modern
Dengan pendekatan modern terhadap karya klasik, mahasiswa UNNES menunjukkan bahwa teater bukan hanya medium hiburan, tetapi juga alat edukasi dan refleksi sosial. Pementasan ini bukan hanya menampilkan karya sastra besar, tetapi juga menjadi bukti nyata bahwa proses belajar bisa dikemas kreatif dan membumi.
“The Roaring Twenties” bukan sekadar pementasan, tetapi tonggak penting dalam pendidikan berbasis proyek yang mampu menjembatani teori dan praktik secara nyata dan mengesankan.