Mengurai Benang Kusut Royalti Musik: Mengapa Konflik Fundamental Masih Membelit Industri Musik Kita?

3 months ago 50

Liputan6.com, Jakarta - Sebagai salah satu individu yang ikut membidani lahirnya Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) di tahun 2015, saya masih sangat ingat betul semangat dan visi besar di balik pembentukannya.

Amanat Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 kala itu begitu jelas: menata pengelolaan royalti musik agar lebih transparan, akuntabel, dan pada akhirnya, menyejahterakan para musisi sebagai pemilik hak cipta dan hak terkait.

Pelantikan komisioner LMKN periode pertama, 20 Januari 2015 adalah langkah konkret menuju harapan tersebut. Namun, setelah satu dekade sejak LMKN resmi beroperasi, keprihatinan terus membayangi hati saya.

Di tengah geliat industri musik yang seharusnya semakin maju dan profesional, kita justru masih harus menyaksikan perseteruan sesama musisi, bahkan sampai berujung pada saling tuntut di pengadilan, untuk urusan-urusan yang sangat mendasar terkait royalti.

Ini ironi yang menyayat hati, mengingat spirit awal LMKN justru untuk mengakhiri keruwetan ini.

Akar Permasalahan yang Membelit

Menurut pengamatan saya, ada dua akar permasalahan utama yang terus membelit dan menyebabkan konflik fundamental ini terus berulang:

  • Minimnya Sosialisasi yang Intensif dan Berkelanjutan

Sulit diterima bahwa setelah 10 tahun, masih banyak musisi—termasuk pencipta—yang belum sepenuhnya memahami hak-hak mereka, alur pengelolaan royalti, hingga tata cara klaim yang benar. Aturan baru yang sudah ada sejak 2014, yang sebenarnya cukup lama untuk disosialisasikan, seolah belum sepenuhnya meresap ke lapisan paling bawah. Ini menunjukkan bahwa upaya sosialisasi dari pihak LMKN dan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) anggotanya belum efektif mencapai target audiens yang luas dan beragam.

  • Tantangan Adaptasi Kultur yang Kuat

Industri musik kita telah eksis jauh sebelum UU Hak Cipta 2014 lahir. Ada kebiasaan dan pola-pola lama yang sudah mengakar kuat. Kebijakan baru yang mengacu pada kesepakatan global, seperti sistem royalti yang terintegrasi, nampaknya sulit diterima sepenuhnya oleh beberapa pemangku kepentingan. Nampaknya masih ada resistensi terhadap perubahan yang justru menghambat kemajuan bersama dan menciptakan gesekan yang terus-menerus.

Dampak Negatif pada Industri Musik Nasional

Perseteruan yang terus-menerus ini sangatlah tidak sehat bagi industri musik Indonesia. Ia bukan hanya menguras energi dan sumber daya para pelaku industri, tetapi juga merusak kepercayaan, menghambat kreativitas, dan pada akhirnya, melemahkan ekosistem industri kita.

Ketika para musisi sibuk berseteru di pengadilan untuk hal mendasar, bagaimana mungkin kita bisa bersaing dengan industri musik asing yang telah memiliki sistem royalti yang jauh lebih solid dan transparan?

Ironisnya, kondisi ini justru membuat industri musik Indonesia semakin rentan untuk 'dijajah' habis oleh konten dan industri musik asing.

Royalti musik adalah pilar strategis bagi keberlangsungan industri di seluruh dunia, yang telah diakui hingga membentuk World Intellectual Property Organization (WIPO). Jika pilar ini rapuh di rumah sendiri, bagaimana kita bisa berdiri kokoh?

Mendorong Perbaikan Melalui Sosialisasi dan Transparansi

Maka dari itu, sudah saatnya LMKN, yang kini digawangi oleh Komisioner periode 2022-2025 (Andre Hehanusa, Dharma Oratmangun, Waskito, Makki Omar, Tito Sumarsono dari unsur Pencipta; serta Bernard Nainggolan, Ikke Nurjanah, Johnny Maukar, Yessy Kurniawan, Marcell Siahaan dari unsur Hak Terkait), bersama seluruh LMK anggota dan seluruh pemangku kepentingan untuk duduk bersama, merefleksikan kembali visi awal, dan mengambil langkah konkret yang lebih mendesak.

Sosialisasi tidak boleh lagi bersifat searah atau sporadis. Perlu ada strategi sosialisasi yang holistik, interaktif, dan berkelanjutan, mencakup:

  • Penyederhanaan informasi:

Terjemahkan aturan hukum ke bahasa yang sangat mudah dicerna, lengkap dengan contoh kasus nyata dan visual yang menarik (infografis, video tutorial).

  • Roadshow dan lokakarya interaktif:

Turun langsung ke komunitas musisi di berbagai daerah, tidak hanya di kota besar, untuk diskusi tatap muka dan pelatihan praktis.

  • Pemanfaatan platform digital secara optimal:

Website yang user-friendly (seperti lmkn.id), media sosial aktif dengan konten edukasi yang singkat dan menarik, serta forum webinar/podcast rutin.

  • Pembangunan kepercayaan melalui transparansi:

Laporan keuangan dan distribusi royalti harus mudah diakses dan dipahami oleh publik, serta adanya mekanisme pengaduan yang responsif dan akuntabel.

  •  Mendorong dialog konstruktif:

Adakan forum-forum rutin yang melibatkan semua pihak (musisi, label, promotor, pengguna, LMK, LMKN) untuk mencari solusi bersama, bukan hanya adu argumen.

Saya memiliki harapan besar agar LMKN dapat sungguh-sungguh mewujudkan amanat awalnya. Mari kita ciptakan ekosistem royalti yang adil, transparan, dan pada akhirnya, mengembalikan marwah industri musik Indonesia yang sehat, sejahtera, dan berdaulat di negeri sendiri, tanpa harus lagi terbelit perseteruan fundamental yang sia-sia.

Heru Nugroho

Pembina Askomik (Asosiasi Komunitas Musisi Indie Kreatif Indonesia)

Foto Pilihan

Pesohor asal Amerika Serikat (AS), Kim Kardashian (tengah) melambaikan tangan saat tiba di Pengadilan Assize, Paris, Prancis pada 13 Mei 2025. (Alain JOCARD/AFP)
Read Entire Article
Dunia Televisi| Teknologi |