Liputan6.com, Jakarta Industri musik Indonesia adalah ladang talenta yang tak pernah kering. Setiap hari, musisi-musisi baru bermunculan, siap meramaikan panggung dan layar. Namun, di balik potensi yang luar biasa, kita tak jarang disuguhkan pemandangan yang memprihatinkan: konflik antar sesama pelaku industri, terutama para senior, yang menguras energi dan mengalihkan fokus dari esensi berkarya. Mengapa ini terus terjadi? Bukan sekadar urusan pribadi, persoalan ini menunjuk pada satu akar masalah fundamental: tata kelola industri musik yang belum pada tempatnya.
Selama ini, kita melihat Kementerian Hukum (Kemenkum) seolah memegang kendali utama dalam regulasi industri musik. Hal ini lumrah, mengingat hak cipta adalah pondasi hukum bagi setiap karya musik, dan urusan kekayaan intelektual memang berada di bawah payung Kemenkum. Mereka bertanggung jawab merumuskan undang-undang dan mengawasi lembaga-lembaga kolektif yang mengurus royalti. Peran Kemenkum sangat vital sebagai penjaga kompas hukum, memastikan perlindungan atas kreasi dan penegakan aturan main. Namun, fokus Kemenkum secara inheren adalah pada aspek legalitas dan kepatuhan, bukan pada dinamika pengembangan ekonomi, ekosistem bisnis, atau promosi industri secara holistik.
Di sisi lain, ada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), yang secara jelas dibentuk untuk mengawal dan memajukan sektor ekonomi kreatif, termasuk musik. Kemenparekraf memahami betul bagaimana musik menjadi tulang punggung ekonomi, membuka lapangan kerja, dan mendorong inovasi. Mereka seharusnya menjadi nahkoda utama yang merancang strategi makro, kebijakan insentif, pengembangan pasar, dan promosi talenta musik Indonesia agar bisa bersaing di kancah global.
Ketidaksesuaian fungsi ini berdampak serius. Ketika tata kelola industri terlalu didominasi oleh kerangka hukum yang cenderung kaku dan lambat beradaptasi, industri musik kehilangan kelincahan. Kebijakan yang lahir seringkali terputus dari realitas lapangan, menciptakan hambatan alih-alih fasilitas. Akibatnya, potensi besar stagnan, dan yang lebih berbahaya, konflik-konflik internal yang muncul di permukaan seringkali hanyalah simptom dari ketidakjelasan sistem dan ketiadaan kerangka tata kelola yang memadai.
Membangun Tata Kelola Musik
Kita tak jarang mendengar kisah pilu tentang pencipta lagu legendaris di negeri ini. Meskipun karyanya terus diputar dan menjadi soundtrack hidup banyak generasi, justru di masa senja mereka harus berjuang keras memenuhi kebutuhan dasar. Ini terjadi karena sistem royalti yang tidak transparan atau praktik pembelian hak dengan pembayaran di muka yang merugikan. Kisah-kisah ini menjadi gambaran nyata betapa lemahnya fondasi industri jika tidak ada penataan yang berpihak pada keadilan bagi para kreator.
Maka, urgensi untuk membangun tata kelola industri musik yang benar dan semestinya adalah mutlak dan tak bisa ditunda lagi. Konflik-konflik personal atau hukum antar pelaku industri adalah persoalan yang harus diselesaikan di ranah hukum, tetapi jangan sampai ia menjadi pengalih perhatian dari pekerjaan rumah yang jauh lebih besar: menata ulang fondasi industri.
Mengantisipasi Pihak-Pihak Berkepentingan
Pemerintah harus segera menyadari dan mengantisipasi bahwa ada pihak-pihak yang mungkin memiliki kepentingan untuk menjaga industri musik dalam kondisi tidak kondusif. Manuver-manuver ini bisa menghambat transparansi, menghalangi keadilan royalti, dan pada akhirnya, merugikan musisi serta menghambat pertumbuhan industri secara keseluruhan.
Sudah saatnya ada pembagian peran yang jelas dan sinergi yang kuat antara Kemenkum dan Kemenparekraf. Kemenkum fokus pada penguatan kerangka hukum dan penegakan hak cipta yang adil dan transparan. Sementara itu, Kemenparekraf harus mengambil alih peran kepemimpinan dalam merancang dan mengimplementasikan kebijakan yang pro-pertumbuhan, pro-inovasi, dan pro-musisi, dari hulu ke hilir.
Dengan tata kelola yang pas—dimana nahkoda dan penjaga kompas bekerja harmonis—industri musik Indonesia akan memiliki pijakan yang kokoh. Ini akan memungkinkan para talenta muda untuk fokus sepenuhnya pada proses kreatif mereka, tanpa harus terganggu oleh riuhnya konflik. Hanya dengan begitu, musik Indonesia bisa benar-benar bertumbuh sehat, profesional, dan berjaya di panggung dunia.
Gambaran Makro Tata Kelola Industri Musik yang Ideal
Secara makro, tata kelola industri musik yang ideal adalah sebuah ekosistem terpadu yang melibatkan berbagai pihak dengan peran yang jelas dan saling mendukung. Ini bukan hanya tentang regulasi, tapi juga tentang promosi, pengembangan, dan keberlanjutan ekonomi.
1. Regulator dan Penjaga Hukum (Kemenkum, DJKI): Peran ini tetap krusial dalam memastikan kerangka hukum yang kuat, perlindungan hak cipta yang adil, serta penegakan hukum terhadap pelanggaran. Ini termasuk pengawasan lembaga manajemen kolektif (LMK) agar distribusi royalti transparan dan akuntabel. Mereka adalah fondasi yang menjamin keadilan.
2. Pengembang Ekosistem dan Penggerak Ekonomi (Kemenparekraf): Ini adalah jantung pertumbuhan industri. Kemenparekraf idealnya bertanggung jawab merumuskan strategi nasional, kebijakan insentif (misalnya insentif pajak untuk investasi di musik, subsidi untuk pengembangan talenta), pengembangan pasar domestik dan internasional, promosi budaya musik Indonesia, serta fasilitasi akses ke pembiayaan dan teknologi. Mereka juga menjadi penghubung antar-pemangku kepentingan untuk menciptakan sinergi.
3. Pelaku Industri (Musisi, Label, Promotor, Publisher, LMK): Pihak-pihak ini adalah motor penggerak sehari-hari. Musisi fokus pada kreasi, label pada produksi dan distribusi, promotor pada acara, dan publisher pada manajemen hak. Penting bagi mereka untuk beroperasi dalam koridor etika dan transparansi, serta berkolaborasi untuk memajukan industri secara keseluruhan.
4. Akademisi dan Peneliti: Memberikan data dan analisis independen tentang tren industri, efektivitas kebijakan, dan potensi pasar, yang sangat penting untuk perumusan kebijakan berbasis bukti.
5. Konsumen dan Masyarakat: Sebagai penikmat musik, mereka adalah pasar. Edukasi tentang apresiasi karya dan pentingnya mendukung musisi melalui jalur legal sangat penting untuk memerangi pembajakan dan membangun budaya penghargaan terhadap karya kreatif.
Dalam gambaran makro ini, sinergi adalah kunci utama. Setiap entitas memiliki peran spesifik, namun bekerja bersama dalam visi yang sama: menciptakan industri musik yang adil, berkelanjutan, inovatif, dan mampu bersaing di kancah global, di mana para kreator dapat hidup sejahtera dari karyanya.
Heru Nugroho, Pembina Askomik (Asosiasi Komunitas Musisi Indie Kreatif Indonesia)