Makna Lagu Another Brick in the Wall Part 2 dari Pink Floyd, Kritik terhadap Sistem Pendidikan yang Represif

3 months ago 51

Liputan6.com, JakartaAnother Brick in the Wall Part 2” bukan sekadar lagu rock klasik yang lekat dengan irama musik disko dan paduan suara anak-anak yang ikonik. Makna lagu ini adalah protes penuh sindiran terhadap sistem pendidikan yang represif, sekaligus menjadi bagian penting dari konsep besar album The Wall (1979) milik Pink Floyd,

Album tersebut diibaratkan sebagai sebuah narasi musikal yang menggambarkan keterasingan, trauma, dan upaya perlindungan diri melalui pembangunan “dinding” emosional.

Roger Waters, personel Pink Floyd sekaligus penulis utama lagu ini, mengambil inspirasi dari pengalaman masa kecilnya saat bersekolah di Cambridgeshire School for Boys. Ia merasakan pendidikan di era 1950-an di Inggris sebagai sesuatu yang kaku dan menindas.

Para guru pada era itu lebih sibuk menjaga ketertiban dibanding benar-benar mendidik murid. Dalam wawancara dengan Mojo pada 2009, Roger Waters menyatakan bahwa lagu ini bukan sekadar anti-pendidikan, tetapi “sebuah pemberontakan terhadap pemerintah yang salah arah dan orang-orang berkuasa yang tidak pantas.”

Meski begitu, Waters menegaskan bahwa ia sangat mendukung pendidikan. Satu hal yang ditentang olehnya adalah sistem yang menciptakan penindasan alih-alih pembelajaran.

Maka, tak heran jika baris lirik yang paling terkenal, "We don't need no education," ditulis dengan sengaja dalam bentuk double negative sebagai bentuk ironi linguistik dan kritik terhadap kualitas pengajaran masa itu.

“Brick” Sebagai Simbol Trauma dan Paduan Suara Anak-Anak

Konsep utama dari album The Wall adalah pembangunan dinding metaforis sebagai bentuk perlindungan diri. Setiap kejadian traumatis dalam hidup sang tokoh utama, Pink (yang merupakan alter ego dari Waters), digambarkan sebagai “batu bata” dalam dinding tersebut. Guru sekolah hanyalah satu dari sekian banyak "batu bata" lain, termasuk kehilangan ayah di Perang Dunia II, pengkhianatan, dan tekanan popularitas.

Lagu “Another Brick in the Wall (Part 2)” menjadi bagian dari rangkaian naratif yang berawal dari “Part 1” dan “The Happiest Days of Our Lives,” lalu berlanjut ke “Part 3” yang menandai titik retret total sang tokoh dari dunia luar.

Salah satu elemen paling mencolok dari lagu ini adalah paduan suara anak-anak yang direkam dari sekolah di Islington, London. Produser Bob Ezrin, yang juga pernah melibatkan anak-anak dalam lagu “School’s Out” milik Alice Cooper, mengusulkan ide ini. Suara 23 anak yang di-overdub hingga terdengar seperti paduan suara besar inilah yang membuat Waters yakin lagu ini akan berhasil.

Tak hanya itu, Ezrin juga menyarankan penggunaan beat bergaya disko yang terinspirasi dari grup Chic. Keputusan ini sempat mengejutkan banyak penggemar karena Pink Floyd dikenal sebagai band yang lebih cocok untuk didengarkan ketimbang dijogeti. Namun, justru keberanian bereksperimen inilah yang membuat lagu ini jadi salah satu hit terbesar Pink Floyd.

Dari Lagu Sela Jadi Single Mendunia serta Relevansi Sosial dan Budaya yang Bertahan

Awalnya, lagu ini hanya dirancang sebagai potongan pendek dalam alur album. Tapi Ezrin menambahkan bagian paduan suara dan memperluasnya menjadi versi utuh berdurasi 3 menit lebih. Meski Pink Floyd biasanya enggan merilis single terpisah, Ezrin meyakinkan mereka bahwa lagu ini bisa berdiri sendiri.

Hasilnya? “Another Brick in the Wall (Part 2)” menjadi nomor satu di banyak negara termasuk Inggris dan Amerika, bahkan menjadi Christmas #1 terakhir di era 1970-an dan yang pertama di dekade 1980-an.

Lagu ini sempat menuai kontroversi, terutama dari para guru yang keberatan dengan pesan anti-sekolah. Ironisnya, anak-anak yang terlibat tidak menerima royalti secara langsung dan baru dilacak keberadaannya puluhan tahun kemudian untuk penyelesaian hak cipta.

Pada tahun 1990, Roger Waters membawakan lagu ini dalam pertunjukan megah The Wall – Live in Berlin untuk merayakan runtuhnya Tembok Berlin. Lagu ini terus digunakan dalam konteks sosial-politik, termasuk dalam konser Live Earth tahun 2007, bahkan ditolak mentah-mentah oleh Waters ketika Facebook hendak menggunakannya untuk kampanye iklan. Waters menilai platform digital raksasa seperti Facebook merupakan bagian dari sistem yang ingin mengendalikan suara-suara oposisi.

Sebuah Peringatan, Bukan Ajakan

Secara keseluruhan, “Another Brick in the Wall (Part 2)” bukanlah ajakan untuk menolak pendidikan, melainkan sindiran terhadap sistem yang meredam ekspresi dan individualitas. Roger Waters menggambarkan pentingnya kehadiran orang dewasa yang bisa berdialog, bukan sekadar menyuruh diam.

Lagu ini menyoroti bagaimana trauma kecil bisa menumpuk menjadi dinding emosional yang tinggi, dan betapa pentingnya kita menyadari keberadaan “batu-batu bata” tersebut dalam hidup kita.

Di balik lirik sederhana dan chorus yang mudah diingat, lagu ini menyimpan lapisan makna yang dalam, sehingga menjadikannya lebih dari sekadar lagu legendaris, melainkan potret kompleks dari pemberontakan pribadi dan sosial yang abadi.

Foto Pilihan

Pesohor asal Amerika Serikat (AS), Kim Kardashian (tengah) melambaikan tangan saat tiba di Pengadilan Assize, Paris, Prancis pada 13 Mei 2025. (Alain JOCARD/AFP)
Read Entire Article
Dunia Televisi| Teknologi |