Temuan Fosil Baru Ungkap Manusia Purba Jawa Tak Hidup Menyendiri

2 weeks ago 19

Liputan6.com, Jakarta - Penemuan dua fragmen tengkorak Homo erectus di dalam tumpukan pasir laut membuat para ilmuwan mengubah pandangan soal kehidupan manusia purba di Jawa. 

Temuan ini mengindikasikan kalau mereka ternyata tidak hidup seisolasi atau semenyendiri yang dulu diperkirakan.

Selama bertahun-tahun, arkeolog mengira populasi Homo erectus di wilayah Jawa hidup terpisah dari kelompok manusia purba lainnya di pulau-pulau sekitar. 

Tapi riset baru yang dipublikasikan 15 Mei 2025 di jurnal Quaternary Environments and Humans menyebutkan, sekitar 140.000 tahun lalu, kehidupan Homo erectus di Jawa kemungkinan jauh lebih kompleks dan terhubung.

Mengutip Popular Science, Senin (19/5/2025), temuan ini berasal dari proyek reklamasi daratan di Indonesia yang dilakukan tahun 2014–2015. 

Saat mengeruk lebih dari 176 juta kaki kubik pasir dari Selat Madura, para peneliti menemukan ribuan fosil hewan purba, termasuk dua fragmen tengkorak Homo erectus yang mengejutkan.

Menurut Harold Berghuis, arkeolog dari Leiden University dan penulis studi, fosil ini berasal dari lembah sungai purba yang terendam air dan tertimbun pasir sungai sekitar 140.000 tahun lalu, tepat saat Zaman Es kedua terakhir.

Homo Erectus Hidup dalam Ekosistem Kaya

Saat itu, permukaan laut dunia jauh lebih rendah, sampai kawasan Asia Tenggara yang kini terdiri dari pulau-pulau, termasuk Indonesia, merupakan daratan luas yang disebut Sundaland.

Berghuis menyebut kondisi di Sundaland mirip seperti sabana Afrika, padang rumput luas dengan aliran sungai besar dan hutan di pinggirannya--Homo erectus hidup dalam ekosistem kaya.

Menariknya, fosil yang ditemukan juga menunjukkan adanya aktivitas manusia, seperti bekas sayatan pada tulang kura-kura air dan tulang bovid (sejenis hewan berkaki empat), yang menunjukkan bahwa Homo erectus berburu dan mengambil sumsum tulang untuk dimakan. 

Para peneliti menduga, bisa jadi terjadi interaksi atau bahkan pertukaran genetik antara Homo erectus Jawa dengan kelompok hominin lainnya.

“Ini membuka kemungkinan bahwa mereka tidak hidup sepenuhnya terisolasi. Mungkin ada kontak, atau bahkan pertukaran pengetahuan antar kelompok,” Berghuis memaparkan.

Temuan ini membuat para ilmuwan harus mulai menulis ulang cerita tentang kehidupan manusia purba di Asia Tenggara. Homo erectus di Jawa ternyata lebih “gaul”  dari yang kita kira.

Terungkap, Dinosaurus Ada yang Bisa Terbang seperti Ayam!

Untuk diketahui, Archaeopteryx, fosil penting yang menjembatani evolusi dinosaurus dan burung modern, masih menyimpan sejumlah misteri meski telah ditemukan sekitar 165 tahun lalu.

Salah satu pertanyaan mendasar yang belum terjawab sepenuhnya adalah bagaimana makhluk dari era Jurassic ini mampu terbang di antara kerabat "dinosaurus berbulunya" yang lain.

Setelah lebih dari dua dekade tersimpan dalam koleksi pribadi, salah satu set fosil terlengkap dan detail Archaeopteryx tiba di Field Museum Chicago pada tahun 2022.

Sebelum dipamerkan ke publik, para ahli menghabiskan waktu setahun untuk mempersiapkan dan menganalisis spesimen yang dijuluki "Chicago Archaeopteryx" ini.

Hasilnya, penemuan mereka memberikan pemahaman baru mengapa dinosaurus purba itu begitu istimewa. Diwartakan Pop Science, Jumat (16/5/2025), temuan tim peneliti ini dipublikasikan pada 14 Mei 2025 di jurnal Nature.

"Ketika pertama kali mendapatkan Archaeopteryx ini, saya sangat gembira," ujar Jingmai O’Connor, kurator fosil reptil di Field Museum dan penulis utama studi tersebut, dalam pengumuman resminya.

Namun, di balik antusiasmenya, O’Connor mengaku sempat ragu.

Dari Ujung Moncong hingga Ekor

"Archaeopteryx sudah dikenal begitu lama, saya tidak yakin apa hal baru yang bisa kita pelajari. Tetapi spesimen kami ini sangat terawat dan dipreparasi dengan baik sehingga kita benar-benar mendapatkan banyak informasi baru, dari ujung moncong hingga ujung ekornya," ia menjelaskan.

Namun, proses pemeriksaan dan preparasi fosil ini bukannya tanpa tantangan. Salah satu kesulitan utama adalah membedakan antara sisa-sisa fosil dengan batuan di sekitarnya yang nyaris sewarna.

Di sini lah pemindaian CT (Computed Tomography) berperan penting.

"Pemindaian CT sangat krusial dalam proses preparasi kami. Hal ini memungkinkan kami mengetahui hal-hal seperti tulang berada tepat 3,2 milimeter di bawah permukaan batu, sehingga kami tahu persis seberapa jauh kami bisa membersihkannya sebelum menyentuh tulang," kata Connor, seraya menambahkan bahwa proyek ini merupakan pemindaian CT pertama yang dilakukan pada spesimen Archaeopteryx yang lengkap.

Infografis Apollo dan Jejak Manusia di Bulan. (Liputan6.com/Triyasni)

Read Entire Article
Dunia Televisi| Teknologi |