Sorotan BRIN soal MBG: Penyimpanan Bahan Baku, Test Kit Kurang Sesuai

5 hours ago 4
Daftar Isi

Jakarta, CNN Indonesia --

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyoroti sejumlah hal dalam program andalan Presiden RI Prabowo Subianto, Makan Bergizi Gratis (MBG), yang dipiloti Badan Gizi Nasional (BGN).

Mengutip dari Antara, beberapa di antaranya adalah soal tata kelola penyimpanan bahan makanan, produksi menu makanan dalam jumlah banyak, proses pengiriman MBG, hingga alat tes (test kit) di dapur MBG atau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG).

Deret persoalan itu disampaikan Kepala Pusat Riset Teknologi dan Proses Pangan BRIN Satriyo Krido Wahono dalam gelar wicara bertajuk 'Upaya Meningkatkan Kualitas Gizi Bangsa melalui MBG' di ANTARA Heritage Center, Jakarta Pusat, Kamis (23/10).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam acara yang sama juga hadir Wakil Kepala BGN Nanik S Deyang yang merespons temuan-temuan BRIN tersebut.

Penyimpanan bahan baku makanan di SPPG

Satriyo mengatakan pihaknya menyoroti metode penyimpanan bahan makanan yang digunakan SPPG dalam menyiapkan menu MBG.

Dia mengatakan BRIN mendapatkan temuan bahwa banyak orang yang merasa bahwa bahan makanan sudah pasti aman jika disimpan di dalam lemari es atau freezer.

"Biasanya menggampangkan 'oke kita dapat barang murah kita simpan di freezer, kalau di freezer pasti semuanya baik-baik saja," kata dia.

Satriyo menilai prinsip tersebut biasanya terjadi jika suatu lembaga yang mengelola makanan menemukan harga bahan yang sedang murah di pasaran, sehingga langsung membelinya dalam jumlah banyak.

Selain itu, Satriyo mengatakan masih banyak SPPG yang belum mempunyai pengalaman yang cukup untuk mengolah makanan dalam jumlah banyak.

"Tidak seperti itu, karena dalam proses freezer pun bisa jadi dia bertumpuk terlalu banyak. Di bagian luar dingin, di dalam panas. Panas dalam artian bakterinya tumbuh, itu yang berbahaya," ujarnya.

Di samping itu, Satriyo mengatakan pihaknya juga menyoroti proses penyimpanan dan pengiriman saat makanan sudah matang. Salah satu persoalannya  disebabkan keterbatasan kendaraan yang dimiliki SPPG untuk mengangkut makanan yang sudah diproduksi dalam jumlah ribuan porsi. Sebelum proses evaluasi dari BGN, masing-masing SPPG umumnya memproduksi 3 ribu porsi untuk diantarakan ke sejumlah titik sekolah.

"Kadang ada keterbatasan juga, jumlah mobilnya cuma sedikit. Padahal didistribusikan banyak, sehingga waktu distribusi itu memakan waktu prime dari makanan, dimana harus dua sampai empat jam maksimal itu sudah harus dikonsumsi. Kalau distribusinya telat, ya otomatis dia akan lebih (berkurang kualitasnya)," ucap Satriyo.

Oleh karena itu Satriyo mendorong seluruh pemangku kepentingan terkait untuk lebih meningkatkan mutu dan kinerjanya, demi menjamin kualitas sajian MBG yang akan diberikan kepada anak Indonesia.

Test kit kurang sesuai

BRIN pun menemukan masih ada SPPG yang menggunakan test kit secara salah dalam menyiapkan menu MBG.

"Saya sempat nonton feature dari salah satu SPPG sifat test kit-nya masih gebyah-uyah. Gebyah-uyah itu ya pokoknya satu jenis test kit ini dijalankan untuk semua jenis makanan," kata Satriyo.

Satriyo menegaskan satu test kit tidak dapat digunakan untuk makanan yang berbeda-beda.

Penggunaan test kit akan tergantung dengan jenisnya baik makanan berbentuk daging, ikan, dan lain sebagainya.

"Karena ikan ada histamin, kalau daging tidak ada histamin, berarti ada tes yang lain yang harusnya diterapkan," ujarnya.

Satriyo menyebut hal seperti ini memerlukan pengkajian lebih lanjut.

Ia melanjutkan, hal serupa juga perlu menjadi perhatian jika nanti ada cek analisis gizi, toksisitas, hingga keamanan rantai pasok.

Food waste dan food loss

Kemudian, Satriyo juga menekankan terkait masalah sampah makanan dan makanan terbuang alias food waste dan food loss dari Program MBG yang sudah digelar secara nasional sejak kick off pada awal Januari 2025 ini.

"Beberapa sekolah menyiasati itu dengan silakan dibawa pulang kalau tidak mau dimakan atau tidak habis, tapi itu sebenarnya kan memindahkan saja food waste itu dari awalnya terkonsentrasi di sekolah ke rumah. Padahal negara kita saat ini saja untuk case food waste dan food loss kita peringkat dua setelah Saudi Arabia," ungkap dia.

Oleh karena itu, Satriyo mendorong kepada seluruh pemangku kepentingan terkait untuk lebih meningkatkan mutu dan kinerjanya, demi menjamin kualitas sajian MBG yang akan diberikan kepada anak Indonesia.

Respons BGN

Merespons paparan-paparan BRIN itu, BGN melalui Nanik menyambut baik usulan-usulan tersebut.

Nanik menyebut pihaknya juga tengah mengupayakan adanya peningkatan kualitas melalui Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tata Kelola MBG yang akan disahkan pada waktu dekat.

"Sekarang ini sudah 112 dapur (SPPG) yang ditutup. Mereka dibolehkan lagi beroperasi, tapi dengan catatan membuat kontrak atau membuat perjanjian, kalau mengalami lagi akan ditutup permanen. Jadi, kami juga keras dengan para mitra," ucap Nanik.

Salah satu yang dievaluasi, kata Nanik, adalah persoalan bahan baku air yang digunakan masing-masing SPPG dalam memproduksi MBG.

Jika belum memiliki kualitas air yang layak untuk memasak menu Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan menggunakan air mineral dalam kemasan galon. Itu merupakan langkah antisipasi sementara, sebelum seluruh SPPG diwajibkan memiliki fasilitas pengelolaan air yang dilengkapi dengan filter dan teknologi sinar ultraviolet (UV).

"Kami wajibkan sekarang harus memakai air galon pak, sementara sebelum mereka mempunyai air yang dipastikan mempunyai kualitas (yang baik)," kata Wakil Ketua BGN Nanik S Deyang seperti dikutip dari Antara.

Nanik juga mengakui masalah sanitasi lingkungan sekitar SPPG menjadi salah satu masalah yang menjadi perhatiannya.

Maka dari itu, ia menyebut hal ini akan menjadi bagian dari Perpres tentang Tata Kelola MBG yang akan disahkan pada waktu mendatang.

Melalui langkah ini, Nanik berharap tidak ada lagi anak Indonesia yang menjadi korban akibat keracunan saat menyantap makanan pada Program MBG.

Sebelumnya Kepala BGN Dadan Hindayana mengakui bahwa program makan bergizi gratis (MBG) saat ini menyumbang 46 persen kasus keracunan pangan di Indonesia.

Namun, kata Dadan, kasus keracunan mayoritas tidak disumbang MBG. Sisanya, sebesar 54 persen, kata dia, kasus keracunan disebabkan hal lain yang tidak diberitakan.

"Perlu saya jelaskan juga bahwa kasus keracunan pangan di Indonesia, itu tidak hanya dari MBG. Sekarang itu 46 persen, keracunan disumbang oleh MBG, ya tapi yang 54 persennya kan tidak diberitakan," kata Dadan di program Setahun Prabowo-Gibran CNN Indonesia TV, Senin (20/10).

(kid/gil)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Dunia Televisi| Teknologi |