Liputan6.com, Jakarta - Delapan seniman musik tradisional duduk bersila di teras sebuah rumah sederhana di kawan Citayam, Depok, dengan alat musiknya masing-masing.
Tapi tak hanya alat-alat musik tradisional yang tampak. Ada juga laptop, mixer, Ipad, serta tumpukan speaker yang digunakan untuk menunjang musik mereka yang mereka mainkan.
Selintas penampilan mereka senada, hanya mengenakan pakaian sehari-hari, seperti kaus, kemeja, atau celana jeans, meski ada juga yang mengenakan sarung. Sebab, ini memang hanya sesi latihan.
Yang sedikit membedakan, adalah tutup kepala yang mereka kenakan. Ada yang mengenakan lomar, ikat kepala khas Banten. Ada juga yang mengenakan tanjak, khas Riau atau Passapu (Makkasar).
Mereka memang dari daerah yang berbeda, begitu juga dengan alat musik yang mereka mainkan. Semuanya mewakili daerah masing-masing.
Namun, dalam sesi workshop atau rehearsal itu, kesemuanya membentuk harmoni indah yang mengiringi syair, pantun, atau puji-pujian khidmat yang dilantukan. Itulah Kabata Tanrasula.
Ini adalah sebuah produksi seni pertunjukan lintas media berbasik karya musik yang juga dikentalkan dengan elemen seni lain seperti dramaturgi, koreografi, penataan artistik, dan lainnya.
Kabata Tanrasula rencananya akan dipentaskan Konstelasi Artistik Indonesia di Cape Town, Afrika Selatan, 30 November.
Konstelasi Artistik Indonesia sendiri merupakan komunitas yang dibentuk sejalan dengan program Ford Global Fellowship yang diraih Aristofani Fahmi dengan mendorong isu seni budaya sebagai platform mewujudkan kesetaraan dan keadilan sosial.
Misi Penting
Namun, di Negeri Nelson Mandela itu, Kabata Tanrasula tak sekadar dipentaskan. Ada satu misi penting dibawa seniman-seniman Indonesia ini ke Cape Town.
Dengan program "Seeking Tuan Guru", mereka ingin menghubungkan kembali warisan budaya Indonesia dan Afrika Selatan, khususnya lewat sejarah, pengaruh seni tradisional, serta kearifan lokal.
Sejarah Afrika Selatan memang memiliki kaitan erat dengan Indonesia, terutama lewat tokoh Tanah Air Syekh Yusuf Al Makassari dan Syekh Imam Abdullah Tidore. Keduanya menjalankan peran diplomasi yang berdampak besar pada kemanusiaan.
Dua Tuan Guru ini menginspirasi Nelson Mandela dalam perjuangan melawan Apartheid di Afrika Selatan. Tanpa kekerasan, Mandela menerapkan sistem moderat penyebaran Islam dari kedua Tuan Guru dalam membebaskan rakyat kulit hitam dari diskriminasi kulit putih di Afrika Selatan.
Diharapkan, rangkaian kegiatan selama tiga tahun mulai dari riset hingga pertunjukan Kabata Tanrasula bisa memfasilitasi publik untuk menggali lebih dalam mengenai tokoh Tuan Guru, sekaligus merefleksikan diri pada konteks hari ini.
Kabata sendiri bentuk tradisi lisan yang berkembang di Maluku Utara. Sementara Tanrasula merupakan tanda samar di kening yang menggambarkan cinta dan kekuatan dalam keyakinan masyarakat Makassar.
Kolaborasi dengan Seniman Lokal
Menurut Helza Amelia, sang manajer produksi, pada 2023, di Cape Town mereka sudah melakukan riset dan residensi Bersama tujuh orang seniman dari Indonesia asal Riau, Ternate, Sulawesi Selatan, Banten, dan Solo.
"Lalu di tahun 2024 ini, kami akan Kembali ke Cape Town untuk menampilkan hasil karya kami yang sudah kami proses," ujar Helza.
Di Cape Town mereka juga akan berkolaborasi dengan seniman rupa local yang sudah punya mama besar, Thania Petersen.
Kabata Tanrasula juga akan melibatkan paduan suara yang anggotanya merupakan keturunan Tidore yang ada di Cape Town.
Tim Konstelasi Artistik Indonesia menggelar latihan persiapan di Saung Samagaha, Citayam, Depok. Rencananya tim Konstelasi Artistik Indonesia bakal tampil dalam pertunjukan seni lintas media Kabata Tanrasula di Cape Town, Afrika Selatan.