Liputan6.com, Jakarta - Banyak aplikasi pesan saat ini menjanjikan keamanan maksimal lewat fitur enkripsi end-to-end.
Nama-nama besar seperti WhatsApp, Signal, hingga Telegram kerap mengklaim bahwa hanya pengirim dan penerima yang bisa membaca isi percakapan mereka, tanpa bisa diakses pihak ketiga, termasuk perusahaan pembuat aplikasi itu sendiri.
Namun, di balik teknologi canggih tersebut, ternyata masih banyak celah tersembunyi yang dapat membahayakan privasi pengguna.
Enkripsi end-to-end memang melindungi isi pesan dari penyadapan langsung, tapi tidak menyentuh aspek lain yang tak kalah pentingnya: metadata.
Mengutip Gizchina, Rabu (16/7/2025), sistem enkripsi tidak menyembunyikan informasi krusial seperti siapa orang yang kamu ajak bicara, kapan komunikasi terjadi, berapa lama berlangsung, hingga seberapa sering interaksi itu terjadi.
Data tersebut dikenal sebagai metadata, dan ironisnya, justru bisa menjadi alat pelacak yang jauh lebih kuat dan berbahaya dibanding isi pesan itu sendiri.
Sebagai contoh, WhatsApp memang melindungi isi pesan, namun sebagai bagian dari Meta, platform ini tetap mengumpulkan data aktivitas pengguna.
Bahaya Metadata Yang Terlupakan
Metadata seperti lokasi, waktu interaksi, dan frekuensi penggunaan masih dikumpulkan untuk kepentingan analitik dan iklan.
Data tersebut juga bisa diberikan kepada pihak berwenang jika diminta secara legal, terutama di negara-negara dengan regulasi pengawasan ketat.
Di beberapa negara, hanya dengan metadata saja, pemerintah bisa menyusun pola aktivitas seseorang secara detail, yang sangat berisiko bagi jurnalis, aktivis, atau tokoh oposisi.
Ketika Privasi Harus Bernegosiasi dengan Kekuasaan
Signal kerap disebut sebagai aplikasi pesan paling aman karena bersifat nirlaba dan mengutamakan privasi. Namun, aplikasi ini tetap beroperasi di bawah hukum Amerika Serikat, dan sistem terpusat yang digunakan tetap membuka kemungkinan intervensi hukum.
Sementara itu, Telegram memang banyak digunakan karena fitur channel publik dan kemudahan aksesnya. Tetapi, enkripsi end-to-end tidak berlaku secara default di grup besar atau channel publik.
Di beberapa kasus, Telegram juga pernah memenuhi permintaan pemerintah untuk menghapus konten tertentu demi tetap bisa beroperasi di negara tersebut.
Enkripsi juga tidak mencegah aplikasi melakukan penyensoran. Banyak negara, seperti India, Iran, dan Belarus, menekan aplikasi pesan untuk menghapus konten yang dianggap melanggar.
Bahkan di negara demokratis, platform bisa tunduk pada perintah hukum yang membatasi kebebasan berekspresi, sering kali tanpa sepengetahuan pengguna.
Kesadaran Digital Jadi Benteng Terakhir
Keamanan digital sejati bukan hanya soal teknologi enkripsi. Hal ini menyangkut siapa yang menjalankan platform, di negara mana mereka berbasis, dan bagaimana mereka merespons tekanan eksternal.
Janji keamanan dari enkripsi memang menggoda, tapi perlindungan nyata terhadap kebebasan berekspresi membutuhkan lebih dari sekadar algoritma.
Tanpa transparansi kebijakan dan perlindungan hukum yang jelas, fitur seperti enkripsi bisa menimbulkan rasa aman palsu. Pengguna merasa terlindungi, padahal ruang percakapan mereka tetap bisa dimanipulasi atau diawasi melalui jalur lain.
Karena itu, penting bagi pengguna untuk tidak hanya melihat fitur teknis, tapi juga siapa yang menjalankan platform tersebut, siapa yang mendanainya, serta bagaimana mereka merespons tekanan kekuasaan.
Di era digital seperti sekarang, memahami keamanan digital bukan lagi sekadar memahami fitur aplikasi. Yang dibutuhkan adalah kesadaran akan struktur kekuasaan, kepemilikan, dan kebijakan di balik aplikasi yang kita gunakan setiap hari.
Pengguna harus lebih waspada, aktif mencari informasi, dan tidak mudah percaya pada label “aman” tanpa melihat siapa yang mengontrol ruang digital tersebut.