Liputan6.com, Jakarta - Dunia musik Tanah Air tengah diwarnai kisruh royalti dan hak cipta antara Agnes Monica alias Agnez Mo dengan musisi Arie Sapta Hernawan alias Ari Bias. Kisruh ini bermula dari pengakuan Ari yang menyatakan tak pernah menerima royalti atas performing rights dari lagu-lagu ciptaannya untuk Agnez Mo.
Salah satu lagu yang jadi sorotan Ari Bias adalah "Bilang Saja", hits yang ada di album And the Story Goes, album pertama Agnez Mo setelah ia menjadi penyanyi di usia remaja. Ari Bias menyebut pihak Agnez Mo menyanyikan lagu ciptaannya itu tanpa izin saat sang penyanyi membawakannya dalam konser yang digelar di tiga kota besar: Bandung, Jakarta, dan Surabaya.
Ari Bias sempat menyurati sejumlah penyanyi yang mempopulerkan lagu-lagu karyanya terkait royalti tersebut. Namun menurutnya, dari sekian banyak penyanyi, hanya Agnez Mo yang tak meresponsnya. Ari Bias lantas melayangkan somasi kepada Agnez Mo hingga puncaknya, ia melaporkan sang penyanyi pada Juni 2024.
Seiring berjalannya waktu, gugatan Ari Bias terhadap Agnez Mo yang didukung Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI), akhirnya dimenangkan pihak Ari Bias, Awal Februari 2025. Pihak Pengadilan Niaga Jakarta Pusat memutuskan Agnez Mo terbukti melanggar hak cipta lagu "Bilang Saja". Agnez Mo didenda sebanyak Rp 1,5 miliar.
Namun setelah jatuh putusan tersebut, Agnez Mo tak tinggal diam. Ia sempat buka suara di media sosial serta berbicara panjang lebar di podcast "Close The Door" milik Deddy Corbuzier.
Di situ Agnez Mo menyatakan akan mengajukan kasasi. Hingga pada akhirnya Agnez Mo mengunjungi Kemenkum pada Rabu (19/2/2025) sembari melaksanakan niatnya tersebut.
Agnez Mo ke Kemenkum, Ari Bias Menanggapi
Sewaktu mendatangi Kemenkum, Agnez Mo menuturkan, kedatangannya ini dilakukan dalam rangka memenuhi undangan pihak Kemenkum untuk berdiskusi soal UU Hak Cipta. Agnez Mo berterima kasih atas kesempatan diskusi ini.
Agnez Mo pun mengaku ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk mempelajari Undang-undang, terutama soal hak cipta. Sebagai warga negara sekaligus musisi, ia ingin menaati regulasi yang mengatur profesinya.
Namun, Agnez menyadari kasusnya dengan Ari Bias membuat sejumlah pihak bingung atas aturan yang berlaku. Oleh karena itu, ia ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk berdiskusi dengan pihak-pihak terkait.
"Sebetulnya memang tadi cuma percakapan atau diskusi sama Pak Menteri. Terima kasih banget sudah menerima dan ketemu. Tujuannya untuk belajar seperti apa sih undang-undang itu, karena saya warga negara Indonesia maunya taat kepada undang-undang," ujar Agnez Mo saat ditemui para pewarta di Kemenkum, kawasan Kuningan Jakarta Selatan, Rabu (19/2/2025).
Dia menambahkan, "Mungkin kasus yang semua tahu, jadi ada kebingungan bukan untuk saya saja, tapi penyanyi dan pencipta lagu di Indonesia. Oleh karena itu, kayaknya bagus kita pakai kesempatan ini untuk sama-sama duduk dan dengar, terus dari hukum ya. Kita kadang cuma bisa dengar dan lihat headline di UU, tapi ternyata (isinya) enggak seperti ini."
Langkah Agnez Mo ini mendapat tanggapan dari Ari Bias. Dalam wawancara eksklusif dengan Showbiz Liputan6.com via telepon pada hari yang sama, Ari Bias mengaku tak kaget dengan kasasi Agnez Mo.
“Sudah saya lihat podcast-nya. Sekarang saya dengar yang bersangkutan berada di Kementerian Hukum RI. Enggak apa-apa, enggak masalah. Ini, kan perjuangan dia dalam melawan keputusan hakim,” ujar Ari Bias.
Selain itu, Ari Bias menyebut, upaya kasasi adalah hak warga negara yang berurusan dengan hukum. Penulis lagu “Ku Tak Sanggup” ini menghormati langkah hukum Agnez Mo meskipun Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah mengetuk palu.
“Putusan hakim sudah ketuk palu, kan? Saya sudah memberikan semua yang saya punya. Dari saksi, dalil, hingga alat bukti, semua saya serahkan ke pengadilan tingkat pertama. Tinggal nanti saya pertahankan di tingkat kasasi,” ujar Ari Bias.
“Mungkin dia sedang mencari dukungan publik? Mungkin. Saya enggak tahu,” ucapnya, menyambung.
Sebelumnya, musisi Ahmad Dhani yang berdiri di pihak Ari Bias bersama Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI), sempat menyatakan bahwa ia sempat menghubungi Agnez Mo selama setahun tetapi tak pernah direspons. Namun sewaktu tampil di podcast Close The Door milik Deddy Corbizer, Agnez Mo mengaku Ahmad Dhani sempat menghubunginya namun bukan dalam konteks seputar musik maupun royalti dan hak cipta lagu.
Dukungan AKSI kepada Ari Bias dan Penjelasan Mohamad Kadri
AKSI yang selama ini mendukung perjuangan Ari Bias, tentunya memiliki pandangan yang sama seperti halnya sang pencipta lagu "Bilang Saja" itu. Salah satu musisi yang juga pengurus AKSI, Badai, menyikapi santai terkait kunjungan Agnez Mo ke kantor Kemenkum.
"Kalau saya sih, itu hak orang untuk ngobrol dengan siapapun, termasuk dengan menteri. Itu hak pribadi untuk meminta penjelasan, memberikan usul, enggak apa-apa buat saya biasa saja. Cuma yang menjadi masalah sekarang adalah pemahaman, yang masih minim," ungkap Badai, yang merupakan Sekjen AKSI.
Badai melanjutkan, "Pemahaman apa? Di dalam undang-undang hak cipta itu kan sudah jelas, ya. Bahwa eksklusivitas pencipta itu ada di Pasal 9 Undang Undang Hak Cipta, yang menjelaskan, setiap orang yang memanfaatkannya secara komersial itu memang wajib izin," Badai menjelaskan. "Tapi yang sebelah sana selalu memakai Pasal 23 Ayat 5, yang mengatakan setiap orang boleh membawakan lagu siapapun tanpa izin, asalkan bayar kepada LMK."
Badai juga menegaskan, pihaknya dan AKSI masih mempertanyakan, apakah mereka yang menyatakan telah membayar kepada LMKN benar-benar sudah melaksanakan kewajiban sesuai ketentuan yang berlaku.
"Bagi kami sih simpel saja. Kalau jaminannya bayar, kami tinggal tanya balik, bayarnya ada enggak? Simpel sebenarnya, enggak usah dibawa ribet. Kalau bayarnya enggak ada, apalagi izinnya? Jadi secara logis, ini bukan hanya masalah pada Agnez saja," ujar Badai, pencipta lagu yang telah melahirkan banyak hits.
Menurut Badai, saat ini posisi mereka kepada siapapun yang mempertahankan pasal tersebut, mereka tinggal tanya, 'Mana kewajiban bayarnya? "Dan sekarang berbanding lurus enggak dengan pendapatan pencipta? Sudah, begitu saja," terang Badai.
Selain itu, Badai juga meluruskan bahwa tak ada agenda apapun di balik kegigihan AKSI dalam memperjuangkan hak para pencipta lagu. "Kami ini kan pemilik industri musik, lho. Industri musik ini bukan penyanyi saja yang punya, tapi salah satunya juga pencipta lagunya. Jadi, kami ingin supaya hak kami pun harus diperjuangkan," ungkap Badai.
"Lewat apa? Ya, sudah lewat saja direct licensing, bayar saja langsung, lewat aplikasi. Ini bukan karena ada agenda DDL (digital direct licensing), ya. Tidak ada itu pun, ini akan terjadi. Ini sudah pasti terjadi, karena kegelisahan ini sudah cukup lama. Sistem begini sudah cukup lama. Nah, kebetulan saja ada aplikasi direct licensing dari pencipta-pencipta lagu yang ingin perubahan. Kebetulan saja momennya tepat. Tapi enggak ada ini pun, pasti akan terjadi gejolaknya. Kalau saya melihatnya seperti itu," sambung Badai.
Di sisi lain, Mohamad Kadri, pengacara sekaligus penyanyi yang aktif dalam sejumlah organisasi musik, memiliki pandangan yang berbeda. Ia menyebut putusan Pengadilan Niaga terhadap Agnez Mo seolah-olah ke depannya bakal membebankan semua tanggung jawab kepada penyanyi.
"Ya, ini memang kalau saya pakai bahasa yang simpel itu adalah putusan itu jadi mempersalahkan penyanyi. Dalam konteks kasusnya Agnez ya, karena penyanyi menyanyi dan kemudian penyelenggara tidak bayar, maka yang salah penyanyi," ujar Kadri.
"Jadi kalau ada pasalnya yang kita bahas, yang dipermasalahkan itu ada pasal 23 ayat 5. Dan juga, melihatnya enggak cuma itu pasal saja sebenarnya, jadi keseluruhan konsep dari undang-undang hak cipta dan juga turunannya di PP, Permen (Peraturan Menteri), bahkan tarifnya, itu diinterpretasikan bertahun-tahun ya sejak undang-undang hak cipta itu yang terakhir, diterbitkan tahun 2014. Itu yang bayar adalah penyelenggara," ujar Kadri, yang punya julukan The Singing Lawyer.
Menurut Kadri, selama ini problemnya, karena penyelenggara khususnya konser tidak punya mindset bayar. "Akibatnya, uang terkumpul sedikit oleh LMKN dan dibaginya sedikit, sehingga banyak tuh beberapa pencipta yang sudah pernah ngomong dia cuma dapet 150 ribu, 130 ribu, karena memang uang yang terkumpul sedikit," terangnya.
Kadri, yang baru merilis lagu Minang "Bareh Solok", juga menilai diputuskannya Agnez Mo sebagai pihak yang bersalah akan jadi suatu preseden. Sehingga, nantinya LMK tak lagi menerima pendapatan besar dari penyelenggara acara, pihak kafe, tempat karaoke, stasiun televisi, hotel, para pengusaha, dan promotor konser.
"Sekarang presedennya adalah ngapain itu kafe-kafe mesti disuruh bayar kalau keputusannya ternyata penyanyi yang mesti bayar. Kalau itu dipakai menjadi suatu preseden dan kemudian diaplikasikan, mengubah dari kebiasaan yang sebenarnya, maka tanggung jawab tersebut menjadi tanggung jawabnya si penyanyi. Otomatis si penyanyi akan sharing sama si penampil lain, misalnya homeband, 'Yuk bayar royalti,'" ujarnya.
Kondisi ini menurut Kadri akan membuat ekosistem secara substansial berubah. "Sehingga nantinya penyanyi itu punya beban, dia menjadi pengusaha. Dia harus bayar royalti, padahal dia cuma nyanyi. Dia diundang. Agnez itu kan diundang. Kecuali kalau Agnez yang bikin acara di situ, sewa tempat, undang bintang tamu, itu beda," jelasnya.
Tanggapan Pakar dan Pemerhati Hukum
Terkait hal ini, Ketua Harian Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi), Dwiyanto Prihartono, mengungkapkan pandangan seputar putusan pengadilan terhadap Agnez Mo.
"Karena tidak bisa membuktikan telah mendapat izin menyanyikan atau menggunakan ciptaan lagu orang lain untuk perform," katanya perihal Agnez Mo kepada Liputan6.com, Selasa (19/2/2025).
Selain itu, Dwiyanto juga meminta para pegiat seni untuk melihat dan mengerti UU Hak Cipta. "Cermat memperhatikan UU Hak Cipta dan menyiapkan dokumen pendukung yang diperlukan seperti misalnya surat kuasa," jelasnya.
Di sisi lain, peneliti Demokrasi Ekonomi dan Pembangunan pada Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Muhammad Ikhsan Alia, turut menyampaikan pandangan lain mengenai kasus ini.
Ikhsan Alia menuturkan, dari beragam konser, biasanya artis akan menyerahkan daftar lagu kepada penyelenggara untuk kemudian diserahkan ke Lembaga Managemen Kolektif Nasional (LMKN) untuk melakukan pembayaran.
"Jadi, terminologi UU Hak Cipta pasal 23 untuk mengurus royalti musik itu perlindungan terhadap pengguna komersil dari penyiaran karya, dalam konteks ini pengguna komersialnya siapa? Dari perspektif saya pribadi, komersialnya adalah penyelenggara event, bukan artis yang menyiarkan lagu itu," kata dia.
Terkait kasus Agnez-Ari Bias ini, karena sudah menjadi putusan, menurut Ikhsan, maka upaya yang bisa dilakukan adalah banding.
"Karena ini masih di tingkat pertama, maka dilakukan upaya hukum berupa banding dengan kemudian mendudukan dalam surat permohonan bandingnya adalah bahwa UU Hak Cipta itu menginginkan supaya perlindungan terhadap komersial dan untuk menjatuhkan putusan artis sebagai pengguna komersial harus ada beberapa kondisi-kondisi yang dipenuhi," pungkasnya.
Harapan untuk Ekosistem Musik Indonesia ke Depannya
Sementara itu sejumlah musisi Tanah Air yang juga bertindak sebagai penyanyi sekaligus pencipta lagu, menyampaikan harapan mereka terhadap ekosistem musik Indonesia seandainya kisruh royalti ini bisa menemukan jalan tengah yang tepat.
Sigit Wardana, vokalis Base Jam, berharap pemerintah bisa mengambil sikap atas permasalahan ini. Ia juga ingin LMK bisa berfungsi secara optimal.
"Kalau saya, sebenernya selama itu untuk kebaikan dan kesejahteraan musisi, komposer, penyanyi dan semua ekosistem musik, pasti saya setuju dan support. Tapi kan semua ada regulasi yang sudah diatur dalam undang-undang," ujarnya.
"Saya berharap sih bisa segera ada langkah yang kongkret dari pemerintah untuk menyelesaikan polemik ini. Menurut saya, ini bukan masalah penyanyi dengan komposer, tapi bagaimana caranya supaya fungsi LMK bisa berjalan maksimal sesuai peraturannya," sambungnya.
Indra Prasta, vokalis The Rain, juga memiliki pandangan yang cukup kritis dalam menanggapi kisruh ini. Menurutnya, bukan hanya satu atau dua pihak yang harus membuka mata, namun juga pihak yang memiliki kewenangan. Ia juga berharap masyarakat bisa semakin tersadar mengenai pentingnya hal ini.
"Kisruh mengenai performing rights yang sedang ramai dibicarakan, menurut saya merupakan momen yang baik bagi para pemangku kepentingan untuk bergerak, untuk berbenah. Benturan yang terjadi juga membuat masyarakat semakin melek akan hak cipta," jelas Indra.
"Sangat diperlukan adanya payung hukum yang jelas dan tegas, agar tidak ada multitafsir dalam pelaksanaannya. Semoga semua insan yang hidup di dunia pertunjukan, baik yang di depan dan di belakang layar, semakin sejahtera," harap Indra.
Masto, musisi sekaligus pencipta lagu yang juga adik dari Bimbim Slank, menekankan pentingnya sikap tegas pemerintah dalam memberikan sanksi kepada orang-orang yang tak memenuhi kewajiban mereka di ekosistem musik, termasuk dalam membayar royalti.
"LMKN ini kan dibentuk negara untuk mengakomodir hal ini dan menjadi pengawas banyak LMK. Nah LMKN mungkinkah sekuat itu kalau enggak ada kekuatan dari negara, dari pemerintah untuk memberi tahun seluruh kafe, EO, biayanya harus banyak untuk kampanye," ujar Masto, yang juga merupakan drummer Kidnap Katrina, band 1990-an dengan vokalis Anang Hermansyah.
Masto, yang belum lama ini merilis lagu "Hari Ini" bersama gitaris asal Bali, Riwin, menambahkan, "Soalnya banyak teman-teman EO itu belum mengerti cara mendaftarnya, berapa biayanya. Kedua sama mesti ada teguran misalnya enggak bayar, sanksi, dengan ancaman, denda misalnya kalau enggak bayar. Sebenarnya hukum saja sih, kayak bayaran pajak, kan semua bisa dikontrol. 'Anda belum bayar tagihan,' kan juga bisa."
VISI Ungkapkan Keresahan
Sementara itu sejumlah penyanyi juga mengungkapkan keresahan mereka terkait ekosistem musik di Indonesia dengan membentuk Vibrasi Suara Indonesia atau VISI. Penyanyi seperti Armand Maulana, Ariel NOAH, BCL, hingga Kunto Aji terlibat di dalamnya. Mereka juga turut mengunjungi kantor Kementrian Hukum (Kemenkum), di Jakarta, Rabu (19/2/2025).
Kunjungan mereka dilakukan untuk memberikan aspirasi terkait rencana revisi Undang Undang Hak Cipta. Menurut Armand Maulana, beberapa musisi mengungkapkan keresahan mereka atas ekosistem industri musik di Indonesia. Armand bersama teman-teman yang hadir memberikan masukkan dari sudut pandang penyanyi.
"Kami ke sini atas keresahan yang terjadi di ekosistem musik saat ini. Kita kompak semua, 'Wah, kayaknya kita ke pemerintah, deh.' Paling tidak, kasih masukan dari angle penyanyi. Pak Menteri tadi bilang bukan hanya penyanyi, ada pencipta, promotor yang juga ke sini. Kita cuma memberikan masukan dari angle kita," ujar Armand Maulana, yang juga vokalis band GIGI, di Kemenkum kepada pewarta.
Armand Maulana pun mengungkpkan, ia dan beberapa penyanyi akhirnya sepakat membentuk Vibrasi Suara Indonesia atau yang disingkat dengan VISI. Serikat ini dibentuk untuk menaungi para penyanyi. Bahkan, mereka sudah mengeluarkan manifesto melalui akun Instagram.
"Alhamdulillah, kemarin kumpul, terus saya ngomong sama Mama Ina (Vina Panduwinata). Dan ternyata, dari dulu sampai sekarang belum ada serikat penyanyi. Makanya kita-kita kemarin terkumpul sekian puluh penyanyi dan terjadilah VISI," Armand menjelaskan.
Ariel Noah juga menyampaikan hal senada. Ia berharap, negara hadir untuk mencari solusi yang tepat terkait permasalahan hak cipta yang belakangan menjadi perbincangan hangat di publik Tanah Air ini.
Begitu juga BCL yang berharap VISI menghadirkan regulasi yang baik untuk semua pihak, baik dari sisi pencipta lagu maupun musisi. Sehingga tercipta ekosistem yang baik di industri musik Indonesia.
"Kami dari VISI mewakili suara dari penyanyi. Dalam hal ini, kita sebenarnya maunya biar yang berwenang yang mengurus. Jadi negara turun, hadir menengahi. Semoga secepatnya bisa selesai permasalahan ini," kata Ariel.
BCL menambahkan, "Kami dari VISI, para penyanyi ingin segera ada solusi supaya kita bisa menciptakan ekosistem musik yang baik untuk semuanya, fair dan baik untuk semua. Jadi, kita inginnya segala sesuatu ini jelas, damai, dan fair."