Liputan6.com, Jakarta Barisan kalimat yang meluncur dari mulut Abidzar Al-Ghifari mengenai karakter Utama yang ia perankan di film A Business Proposal ini viral, lalu menggelinding bak bola salju. Puncaknya, Falcon Pictures dan Abidzar mengucap permintaan maaf jelang penayangan film tersebut pada 6 Februari 2025 besok.
Pernyataan Abidzar ini awalnya menimbulkan tanda tanya di benak warganet. Mulai dari kata-kata "karakter yang dibuat sendiri", juga mengapa sang aktor tak mendalami sumber asli A Business Proposal yang merupakan webtoon Korea dan telah diangkat dalam bentuk drakor. Alih-alih memandamkan percikan-percikan yang terpantik lewat ucapan Abidzar, topik jadi meluas dengan kemunculan sejumlah "keyword" baru. Mulai dari "fans fanatik" hingga "tak diundang ke premiere," bahkan media massa dan sosial mengabarkan bahwa ada penyebutan soal rasisme.
Masing-masing isu ini bak bensin yang disiram sedikit demi sedikit, dan akhirnya meledak menjadi permintaan maaf resmi yang dirilis Falcon--sebuah langkah yang sangat jarang terjadi dalam dunia sinema Indonesia.
Bila segala huru-hara yang timbul belakangan disingkirkan barang sejenak dan kembali pada pernyataan awal, timbul sebuah tanya. Apa benar seorang aktor film adaptasi tak perlu mendalami sumber aslinya?
Beda Proyek, Beda Pula Ketentuan dari Pemilik Kisah Asli
Pertama, perlu dipahami bahwa masing-masing proyek memiliki kecenderungan berbeda mengenai seberapa ketat film tersebut sejalan dengan versi aslinya.
Contohnya, versi live action dari One Piece yang ditayangkan Netflix. Sang mangaka, Eiichiro Oda, sangat terlibat dalam proses pembuatan serial ini. Sebelum mendapat lampu hijau dari sang Sensei, proyek ini belum bisa jalan.
"Baik dari naskah ataupun pemerannya, saya tetap bersikeras dalam banyak hal, yang membuat Matt sang produser berkata, 'Aarrghh!' dan Netflix berkata, 'Tidaaak!' dan membuat Tomorrow Studio berkata, 'Apaaaa!' sekaligus membuat mereka semua frustasi," kata Eiichiro Oda dalam keterangan tertulis yang dirilis Netflix pada Agustus 2024 lalu.
Namun tak sedikit pula proyek lain, di mana sang pemilik IP memberi ruang kebebasan bagi sang sineas untuk menginterpretasikan karya-karyanya. Seperti Howl's Moving Castle dari Studio Ghibli yang merupakan adaptasi novel Diana Wynne Jone, Fight Club karya penulis Chuck Palahniuk yang kemudian menjadi salah satu karya ikonis sutradara David Fincher, atau Forrest Gump yang karakter utamanya cukup beda dari yang dimuat di buku Winston Groom.
Ada yang menuai pujian dari sang penulis asli. Tapi ada pula yang secara terbuka tak disukai kreatornya, salah satunya film The Shining dari sutradara Stanley Kubrick yang dibenci oleh Stephen King.
Alasan Tak Membaca Sumber Asli
Selain perombakan plot cerita, salah satu ruang kebebasan berekspresi dalam film adaptasi adalah cara menghidupkan karakter baru dari cerita asli. Di sini pun ada metode berbeda yang dipilih sang aktor. Ada aktor yang benar-benar menguliti novel, webtoon, maupun sumber asli film adaptasi ini.
Namun pemain yang sama sekali tak membaca sumber aslinya pun cukup banyak. Alasan mereka beragam. Dalam wawancara dengan Esquire pada 2021, Elijah Wood mengaku belum menamatkan novel yang melandasi The Lord of the Ring, karya JRR Tolkien.
"Bukunya padat, sungguh memuat banyak kata, luar biasa, sastrawi, dan indah, tapi berat," kata dia mengungkap alasannya.
Tugas Aktor, Setia pada Naskah
Langkah serupa juga dilakukan Liam Cunningham, bintang Game of Thrones. Pasalnya, kata Liam, tugasnya sebagai aktor adalah setia pada naskah yang diberikan kepadanya. "Aku tidak ingin memerankan karakter dari buku. Bagi David (Benioff) dan Dan (Weiss), istilahnya, kitab suci mereka adalah buku aslinya. Sementara sebagai aktor, cetak biruku adalah naskahnya," kata dia, dilansir dari Looper.
Pemeran Dumbledore Michael Gambon pun merasa tak perlu membaca novel-novel Harry Potter karya JK Rowling dan memilih untuk berpedoman pada naskah untuk mendalami karakter sang kepala sekolah Hogwarts.
"Kamu bisa kecewa kan, kalau ada adegan dalam buku yang hilang? Tak perlu membaca bukunya karena yang dilakukan adalah bermain dengan kata-kata dari Steve Kloves," tuturnya menyebut nama sang penulis naskah, seperti dilansir dari Fandomwire.
Pada akhirnya, sineas memang bebas menginterpretasi sebuah karya menjadi bentuk baru. Namun tak boleh dipungkiri, penggemar karya aslinya pun punya hak untuk memiliki ekspektasi atas film adaptasi tersebut. Soal film adaptasi akan mengecewakan atau tidak, itu urusan belakangan, karena ada banyak faktor yang mempengaruhinya.
Penggemar kisah asli mau tak mau menerima, bahwa perbedaan medium bakal berimbas pada banyak aspek penceritaan. Dan di sisi lain sineas sebaiknya jangan tutup mata bahwa fans kisah versi asli adalah orang-orang pertama yang akan tertarik dengan proyek yang mereka garap.