Liputan6.com, Jakarta Industri musik di Indonesia telah mencetak banyak penyanyi dan musisi sukses berkat lagu-lagu hits yang mereka populerkan. Namun, tak semua lagu populer tersebut diciptakan secara langsung oleh musisi maupun penyanyi yang bersangkutan. Banyak lagu-lagu lintas zaman yang masih diputar hingga hari ini, merupakan buah karya dari pencipta lagu yang tak memiliki kaitan langsung dengan artis atau musisinya.
Sayangnya persepsi banyak orang terhadap hak cipta sebuah lagu masih dianggap sebagai hal yang tak terlalu vital. Selama ini, selalu saja pemyanyi atau musisi yang dijadikan sorotan. Padahal di balik kesuksesan sejumlah lagu, terdapat sosok di balik layar yang telah bersusah payah menciptakannya. Bahkan ketika lagu yang diciptakannya sukses dan dibawakan di ruang publik dan panggung secara komersial, masih banyak penciptanya yang belum adil dalam mendapatkan royalti atas karya ciptanya.
Setelah Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) didirikan dan ikut terjun mengurusi masalah ini, polemik pembayaran royalti musik pun masih tetap terjadi. Masih ada ratusan konser dan pertunjukan musik, baik nasional maupun internasional yang tercatat belum memenuhi kewajiban pembayaran royalti, melansir artikel Showbiz Liputan6.com pada Desember 2024 lalu.
Hal inilah yang menyita perhatian Badai, sebagai salah satu musisi yang aktif bersama Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI). Sayangnya, AKSI kerap kali berbenturan dengan LMKN meskipun keduanya memiliki tujuan yang sama: Memberikan royalti kepada para pencipta lagu di seluruh Indonesia.
Dalam bincang-bincang dengan Showbiz Liputan6.com saat kunjungan media di Gedung KLY, Jakarta, musisi bernama lengkap Diadibadai Hollo ini menyorot perihal masalah royalti musik yang masih terus melanda para pencipta lagu.
Mulai dari hal-hal yang berkaitan dengan hukum, kesadaran para musisi yang membawakan lagu ciptaan orang lain, hingga kritik terhadap cara-cara yang sudah tak relevan. Badai hanya ingin melihat para pencipta lagu bisa lebih sejahtera dengan pembagian royalti yang bersifat adil.
Kaitan dengan Hukum
Bicara soal royalti, tentunya hal-hal yang bersinggungan dengan hukum tak dapat dielakkan bahkan sudah mendarah daging. Namun menurut Badai, banyak peraturan yang membuat pengelolaan terkait royalti terhadap pencipta lagu jadi sulit untuk dijalankan dengan baik.
"Pelanggaran-pelanggaran itu terjadi karena, satu, regulasi kita banyak pasal karet. Pasal-pasal yang tiba-tiba ada dan berpihak kepada pengguna, bukan pada pencipta. Undang-undang hak cipta itu kan harusnya 60 persen melindungi hak cipta, meskipun di situ ada hak ekonomi pelaku pertunjukan," jelas Badai, dikutip Senin (21/1/2025).
"Tapi fokusnya enggak bisa ke pengguna, dong? Pencipta itu di Indonesia kan ada di bawah LMK (LMKN) yang mana itu adalah ditugaskan utuk mengoleksi royalti kita di area-area publik," ia menyambung.
"Tapi ternyata, kinerja LMK ini berdasarkan laporan undang-undang mereka tahun 2021, itu hanya tidak lebih dari 0,5 persen. Kinerjanya untuk mengoleksi royalti dari pendapatan berapa, hanya 900 juta (rupiah) untuk penagihan performing. Ini kan banyak masalahnya," terang mantan personel band Kerispatih.
Penyebab Pelanggaran Royalti Masih Terjadi
Lebih lanjut, Badai menjabarkan bahwa ada tiga masalah yang menyebabkan pelanggaran terhadap royalti masih kerap terjadi. Salah satu poin yang barangkali menarik, Badai menyebut bahwa rupanya masih banyak musisi yang tak menyadari pentingnnya royalti mengurus royalti sebelum ia menyanyikan lagu-l;agu ciptaan orang lain.
"Pertama, kesadaran EO untuk bayar enggak ada. Yang kedua, pelanggaram karya cipta itu masih delik aduan, bukan delik biasa. Kalau delik biasa, begitu ada tindak pidana, polisi bisa menangkap. Tapi kalau delik aduan, lu harus ngadu, tapi prosesnya panjang lagi, pengadilan dan segala macam," ucapnya pencipta lagu "Aku Cuma Punya Hati" ini.
"Ketiga, artisnya sendiri yang membawakan lagu-lagu ini, dia enggak sadar untuk melaporkan itu kepada EO. '(Seharusnya) Ini lho songlist gua, tolong lu urus dong lisensinya. Lisensi keluar baru gua manggung.' Yang ada adalah... Event jalan dulu... Vendor dibayar, security dibayar, artis dibayar, EO dapat duit... Pencipta lagunya, entar besok-entar besok," ujar Badai serius.
Berharap Direct Licensing Bisa Diterapkan
Badai juga mengutarakan aspirasinya mengenai solusi yang bisa dilakukan di masa depan agar para komposer atau pencipta lagu bisa mendapatkan hak yang adil atas kerja keras mereka sebelum karyanya populer. Ia berharap solusi yang juga diaspirasikan oleh rekan-rekannya di AKSI, juga bisa membuahkan proses yang adil.
"Jadi kondisinya memang variatif, karena festival musik di mana-mana. Makanya, laporannya enggak berbanding lurus dengan pendapatan komposer. Makanya, kami pengin begini. Pekerjaan LMK ini sudah enggak relevan buat kami, karena laporannya pun tidak terlalu bagus untuk penagihan performing, ya. Kalau digital sih sudah aman. Kami inginnya direct licensing aja," ucap Badai.
"Jadi, ibaratnya kalau lagu gua dipakai di mana, ya kami bikin aplikasinya, namanya digital direct licensing, di mana di situ ada izin keramaian, ada izin copyright dalam bentuk online. EO login, penyanyi dan artis login, manajemen login. Begitu langsung manggung, bayar, langsung masuk ke rekeningnya pencipta, Enggak perlu lagi pemotongan-pemotongan kiri dan kanan," lanjutnya menerangkan.
Upaya yang Dilakukan
Bukan sekadar berpikir maupun berdiskusi semata Badai dan rekan-rekan musisi yang satu visi sudah menyampaikan aspirasi mereka ke banyak pihak. Termasuk para pejabat negara hingga pejabat legislatif yang salah satunya adalah rekan sesama musisi, Melly Goeslaw.
"Kami sudah audiensi ke mana-mana, sampai ke KSP (Kantor Staf Presiden) juga. Sudah ketemu Pak Moeldoko, ketemu Yasonna Laoly, sudah ketemu Kominfo, dorong untuk dapat SKB 3 Menteri. Terakhir, kami bertemu dengan Menteri Parekraf yang baru, kami audiensi ke situ. Dapat berita baik bahwa revisi undang-undang hak cipta ini sudah masuk Prolegnas, nih, prioritas untuk direvisi segera di 2025 ini. Kami tunggulah, kami kemarin audiensi juga dengan Teh Melly dari Komisi X. Ya, kita tunggu saja gimana prosesnya, yang jelas kami kawal terus, nih," ucap Badai.
Jelaskan Maksud Keberadaan AKSI
Tak sekadar menyampaikan aspirasi serta kritik atas kepengurusan royalti yang bisa dibilang masih semrawut, Badai juga turut menjelaskan alasan maksud dari keberadaan AKSI. Ia menyatakan dirinya dan rekan-rekan lain sesama musisi hadir untuk menyeimbangkan peran LMKN.
"Aksi ini kan tujuannya menjadi check and balance, kalau di politik itu kami oposisinya, nih. Kami berada dalam usaha untuk, 'Ini sudah enggak relevan, nih cara-cara seperti ini.' Dan di Amerika, Inggris, Prancis, itu sedang memberlakukan direct licensing, kok," ungkapnya.
"LMK itu bisa hanya mengelola ya, mungkin yang dari digital, YouTube, atau karaoke misalkan. Itu kan sudah ada sistemnya. Tapi kalau performing, enggak perlu karena sifatnya personal. Beda kalau publishing, kan mechanical rights tapi di dalam digital kan ada mechanicalnya," jelas Badai.
Mengkritik Pembagian Royalti yang Terlalu Rata
Ditambahkan lagi, Badai juga mengkritik cara pembagian royalti yang kini sedang berjalan, yakni tiap orang atau musisi yang memiliki lagu mendapatkan bayaran yang setara. Namun, jumlah yang saat ini diberikan, masih dianggap tak sepadan, terlebih bagi orang-orang yang karya lagunya populer di Tanah Air. Kembali lagi, Badai ingin agar para pencipta lagu hidupnya sejahtera di masa senja.
"Kita kan enggak bisa menganut sistem blanket license, bayarnya dan baginya lonesome, enggak bisa, dong. Lagu kita yang tergantung, kalau lagu happening, harusnya dapat gede, enggak bisa rata juga pembagian kuenya, dong. Itu yang lagi kami jembatani supaya, 'Ayolah, pencipta lagu ini jangan jadi orang yang kerjanya di masa tuanya butuh-butuh uang dengan cari-cari dana," pungkas Badai.