Registrasi SIM Pakai Pengenalan Wajah Tuai Pro Kontra, Pakar Soroti Risiko Data Biometrik

1 week ago 26

Liputan6.com, Jakarta - Kebijakan registrasi kartu SIM berbasis biometrik lewat teknologi pengenalan wajah mulai memicu perdebatan di ruang publik. Pemerintah melihatnya sebagai langkah strategis untuk menekan kejahatan digital. Namun di sisi lain, kekhawatiran soal perlindungan data pribadi dan kesiapan sistem nasional ikut menguat.

Berbeda dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) atau nomor ponsel masih bisa diganti, data biometrik bersifat permanen dan tidak dapat diubah. Jika terjadi kebocoran, dampaknya dinilai jauh lebih berbahaya. Kekhawatiran inilah yang disuarakan sejumlah praktisi hukum dan pemerhati perlindungan konsumen.

Praktisi hukum David M. L. Tobing menilai perlindungan data harus berdiri di garis depan sebelum kebijakan diterapkan secara luas. Ia mengingatkan, Indonesia punya catatan panjang soal kebocoran data di berbagai platform digital.

“Jumlah pengguna internet dan data seluler terus bertambah, seiring meningkatnya potensi kejahatan. Biometrik memang dibutuhkan, tetapi kesiapan regulasi dan sistem harus benar-benar matang,” ujarnya.

Ancaman AI dan Deepfake

Kekhawatiran tidak berhenti pada soal kebocoran data. Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) ikut menambah kompleksitas masalah. Teknologi face recognition juga menghadapi tantangan serius dari manipulasi visual dan deepfake.

Tanpa sistem keamanan berlapis, data wajah berisiko disalahgunakan. Dalam skenario terburuk, identitas seseorang bisa dipalsukan untuk kejahatan finansial, penipuan digital, hingga pembajakan akun.

Selain itu, praktik pengelolaan data pribadi di berbagai sektor masih dinilai belum seragam. Pemindaian KTP dan pengambilan foto wajah kerap dilakukan tanpa standar teknis jelas dan menyeluruh.

Pemerintah dan Operator Pastikan Keamanan

Menanggapi kekhawatiran tersebut, Marwan O. Baasir, Executive Director Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) menegaskan operator seluler telah meningkatkan sistem keamanan.

Marwan menyebut, operator telah mengantongi sertifikasi internasional, termasuk ISO 27001 untuk manajemen keamanan informasi serta standar liveness detection untuk mencegah pemalsuan wajah.

“Dalam beberapa tahun terakhir, kebocoran data tidak berasal dari operator seluler. Sistem keamanan terus diperkuat dan diperbarui,” kata Marwan.

Komdigi juga menekankan bahwa penerapan registrasi biometrik akan dilakukan secara bertahap dan diawali dengan konsultasi publik. Pemerintah menilai sosialisasi dan literasi digital menjadi kunci agar masyarakat memahami memahami tujuan serta mekanisme kebijakan ini.

Perlu Edukasi dan Transparansi

Sejumlah pihak menilai keberhasilan registrasi biometrik tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga kepercayaan publik. Transparansi pengelolaan data, mekanisme pengawasan, serta respons cepat jika terjadi insiden kebocoran dinilai mutlak diperlukan.

Registrasi SIM berbasis biometrik menandai babak baru tata kelola identitas digital di Indonesia. Tantangannya kini bukan hanya menekan kejahatan, tetapi juga memastikan hak privasi masyarakat tetap terlindungi di tengah laju transformasi digital.

Registrasi Kartu SIM dengan Pengenalan Wajah Berlaku 2026

Sebelumnya, Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) akan menerapkan kebijakan registrasi kartu SIM berbasis biometrik dengan teknologi pengenalan wajah (face recognition) mulai 1 Januari 2026.

Langkah ini diambil untuk memperkuat akurasi identitas pelanggan seluler sekaligus menekan maraknya kejahatan digital yang memanfaatkan nomor telepon sebagai sarana utama penipuan.

Pada tahap awal, penerapan registrasi biometrik dilakukan secara sukarela bagi pelanggan baru dengan skema hybrid hingga akhir Juni 2026. Selanjutnya, mulai 1 Juli 2026, seluruh pelanggan baru diwajibkan menggunakan metode biometrik dalam proses registrasi kartu SIM.

Kebijakan tersebut disampaikan dalam diskusi bertajuk “Ancaman Kejahatan Digital serta Urgensi Registrasi Pelanggan Seluler Berbasis Biometrik Face Recognition” yang digelar Komdigi bersama Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) di Jakarta, Rabu (17/12/2025).

Lonjakan Penipuan Digital Jadi Latar Belakang

Direktur Jenderal Ekosistem Digital Komdigi, Edwin Hidayat Abdullah, mengatakan kebijakan registrasi biometrik lahir dari tingginya angka penipuan digital yang terus meningkat setiap tahun.

Hampir seluruh modus kejahatan siber—mulai dari scam call, spoofing, smishing, hingga social engineering—berbasis pada penyalahgunaan identitas nomor telepon.

“Kerugian akibat penipuan digital telah melampaui Rp7 triliun. Setiap bulan terjadi lebih dari 30 juta panggilan penipuan, dan rata-rata masyarakat menerima setidaknya satu panggilan spam setiap pekan,” ujar Edwin.

Data Indonesia Anti Scam Center (IASC) mencatat hingga September 2025 terdapat 383.626 rekening yang terindikasi terkait penipuan dengan total kerugian mencapai Rp4,8 triliun. Angka tersebut kontras dengan jumlah pelanggan seluler tervalidasi yang telah melampaui 332 juta nomor.

ATSI: Operator Seluler Siap Jalankan Kebijakan

Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) menyatakan kesiapan operator seluler dalam mendukung penuh implementasi registrasi SIM berbasis biometrik.

Direktur Eksekutif ATSI, Marwan O. Baasir, menegaskan kebijakan ini krusial untuk melindungi kepentingan pelanggan di tengah pesatnya digitalisasi layanan.

“Mulai dari mobile banking, transaksi digital, hingga akses layanan publik, semuanya bergantung pada nomor seluler. Karena itu, diperlukan sistem identifikasi yang lebih kuat dan akurat,” kata Marwan.

Ia menjelaskan, peralihan dari validasi berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Kartu Keluarga menuju biometrik merupakan kelanjutan kebijakan know your customer (KYC) yang telah diterapkan sejak 2005. Teknologi biometrik dinilai mampu mencegah identitas ganda serta mempersempit ruang kejahatan seperti SIM swap fraud.

“Pada masa transisi, pelanggan baru masih dapat memilih antara registrasi menggunakan NIK atau verifikasi biometrik. Namun, mulai 1 Juli 2026, seluruh registrasi pelanggan baru wajib menggunakan biometrik. Kebijakan ini tidak berlaku bagi pelanggan lama,” ujar Marwan.

Penataan Basis Data dan Efisiensi Frekuensi

Selain aspek keamanan, registrasi biometrik juga dinilai mampu membantu operator merapikan basis data pelanggan. Saat ini, jumlah nomor seluler yang beredar mencapai lebih dari 310 juta, sementara populasi dewasa Indonesia diperkirakan sekitar 220 juta jiwa.

“Dengan basis data yang lebih bersih dan valid, pemanfaatan frekuensi seluler dapat lebih optimal dan tidak disalahgunakan oleh pelaku kejahatan digital,” ujar Edwin, Direktur Jenderal Ekosistem Digital Komdigi.

Kekhawatiran Perlindungan Konsumen dan Risiko Data Bocor

Di tengah optimisme pemerintah dan operator, praktisi hukum dan perlindungan konsumen David M. L. Tobing mengingatkan bahwa sejarah digital Indonesia dengan potensi risiko kebocoran data biometric dan lemahnya respons insiden. Ia menilai, tanpa pengawasan ketat, kebijakan ini justru dapat menimbulkan kerugian lebih luas bagi konsumen.

“Jika data bocor, konsumen tidak hanya berhadapan dengan satu pelaku usaha, tetapi bisa terdampak oleh banyak pihak—mulai dari perbankan, asuransi, hingga platform digital,” kata David.

Ia menyoroti rekam jejak panjang kasus kebocoran data di Indonesia, termasuk pencurian pulsa, kebocoran data e-commerce, hingga persoalan keamanan Pusat Data Nasional.

Menurut David, meningkatnya indeks keberdayaan konsumen tidak otomatis menurunkan angka kejahatan digital, yang justru terus naik dari tahun ke tahun.

Infrastruktur dan Keamanan Data

Menanggapi kekhawatiran tersebut, Marwan, Direktur Eksekutif ATSI, menambahkan, operator seluler telah memiliki infrastruktur pendukung, termasuk penerapan verifikasi biometrik untuk layanan penggantian kartu SIM di gerai serta kerja sama dengan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri.

Kerja sama itu diperkuat melalui penandatanganan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Ditjen Ekosistem Digital Komdigi dan Ditjen Dukcapil untuk pemanfaatan data kependudukan secara sah dan terawasi.

Direktur Jenderal Dukcapil Kemendagri, Teguh Setyabudi, menegaskan komitmen pihaknya dalam mendukung kebijakan tersebut sesuai peraturan perundang-undangan. “Kami siap berdiskusi dan mencari solusi atas tantangan pengawasan pemanfaatan data kependudukan,” ujarnya.

ATSI juga menyebut operator telah menerapkan standar keamanan internasional, termasuk sertifikasi ISO 27001 serta teknologi liveness detection untuk mencegah pemalsuan identitas berbasis kecerdasan buatan. 

Read Entire Article
Dunia Televisi| Teknologi |