Tarif Cukai Rokok Tak Naik, ke Mana Peta Jalan?

2 hours ago 1

loading...

Candra Fajri Ananda, Wakil Ketua Badan Supervisi OJK. Foto/Dok. SindoNews

Candra Fajri Ananda
Wakil Ketua Badan Supervisi OJK

INDUSTRI Hasil Tembakau (IHT) di Indonesia saat ini menghadapi tantangan besar yang bersumber dari berbagai aspek, mulai dari kebijakan fiskal, regulasi kesehatan, hingga dinamika pasar. Sebagai salah satu industri padat karya dan penyumbang signifikan bagi penerimaan negara melalui cukai, IHT berada pada tekanan yang semakin kompleks.

Kenaikan pungutan fiskal berupa cukai, pajak, dan retribusi yang mencapai kisaran 77,6% hingga 84,9% telah menambah beban biaya bagi pelaku industri, terutama pabrik kecil dan menengah. Ketentuan ini menimbulkan dilema karena di satu sisi meningkatkan penerimaan negara, namun di sisi lain berpotensi mengurangi daya saing industri.

Selain tekanan fiskal, IHT juga menghadapi persaingan ketat dari rokok ilegal yang terus menggerus pangsa pasar rokok legal. Peredaran rokok ilegal yang semakin masif menyebabkan penurunan volume penjualan rokok resmi, sehingga kontribusi cukai yang diterima negara ikut terancam.

Di tengah situasi tersebut, strategi pasar seperti down-trading dan underpricing menjadi pilihan bagi sebagian produsen untuk mempertahankan konsumen. Namun, strategi ini berisiko memperburuk struktur harga dan menciptakan persaingan tidak sehat dalam industri.

Kebijakan fiskal yang diterapkan pemerintah juga dinilai tidak seimbang antara produk konvensional dan alternatif. Rokok elektrik misalnya, dikenakan tarif cukai lebih rendah dibandingkan rokok konvensional. Kondisi ini menimbulkan kesan adanya “karpet merah” bagi rokok elektrik yang justru dapat mempercepat pergeseran konsumsi masyarakat.

Di sisi lain, tekanan regulasi kesehatan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 semakin mempersempit ruang gerak industri rokok dalam memasarkan produk, memperkuat arah kebijakan negara yang menekankan aspek kesehatan publik.
Tekanan multidimensi ini berdampak langsung pada kinerja keuangan industri rokok.

Data menunjukkan tren penurunan produksi seiring dengan meningkatnya beban biaya dan menyusutnya permintaan. Sebagai konsekuensinya, banyak perusahaan melakukan rasionalisasi tenaga kerja untuk menekan biaya operasional. Dampak ini tidak hanya dirasakan oleh perusahaan, tetapi juga oleh pekerja dan masyarakat sekitar yang menggantungkan hidup pada industri ini.

Berbagai dinamika yang terjadi saat ini mutlak menunjukkan bahwa IHT berada pada titik kritis. Tekanan fiskal yang tinggi, regulasi kesehatan yang ketat, serta persaingan dengan rokok ilegal dan rokok elektrik telah menciptakan situasi yang penuh tantangan.

Demi menjaga keberlangsungan industri sekaligus memastikan kontribusi terhadap perekonomian dan kesehatan masyarakat, diperlukan kebijakan yang lebih komprehensif dan seimbang. Tanpa langkah strategis tersebut, IHT tidak hanya kehilangan daya saing, tetapi juga berpotensi mengurangi peran pentingnya dalam struktur ekonomi nasional.

Industri Rokok (Masih) Tertekan
Keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada tahun 2026 dilandasi oleh pertimbangan makroekonomi, terutama terkait kondisi daya beli masyarakat. Kebijakan ini diposisikan sebagai instrumen stabilisasi sosial-ekonomi, mengingat rokok merupakan barang yang permintaannya cukup inelastis di kalangan konsumen tertentu, sehingga kenaikan harga dapat memicu pergeseran ke pasar rokok ilegal.

Secara teoritis, keputusan untuk tidak menaikkan cukai dapat memberi ruang napas bagi industri. Beban biaya produksi yang biasanya meningkat setiap tahun akibat penyesuaian tarif dapat ditahan sementara, sehingga produsen memiliki fleksibilitas lebih besar dalam menjaga margin keuntungan dan melakukan efisiensi.

Read Entire Article
Dunia Televisi| Teknologi |