loading...
Suasana Kongres Ikatan Alumni Elektro ITS (ELITS) yang mengangkat tema Elektro vs Artificial Intelligence: Powering the Future.. Foto/Istimewa.
JAKARTA - Ikatan Alumni Elektro ITS (ELITS) menggelar kongres dengan tema “Elektro vs Artificial Intelligence: Powering the Future.” Ratusan alumni lintas generasi berkumpul, sebagian datang dari dunia industri, sebagian lain dari lembaga pemerintah dan startup, bahkan ada yang sudah dikenal publik sebagai tokoh nasional.
Tema ini bukan sekadar jargon. Di tengah gempuran teknologi, semua sepakat bahwa elektro sebagai disiplin ilmu klasik yang melahirkan insinyur-insinyur andal kini harus berdialog serius dengan artificial intelligence (AI), yang menjadi arus besar perubahan dunia. Dan dalam forum itu, empat tokoh utama memberikan sudut pandang berbeda, lengkap dengan refleksi, kritik, hingga tawaran jalan ke depan.
Baca juga: Inisiasi Karangan Bibit Tanaman Semarakkan Dies Natalis ke-64 ITS
Prof. Adhi Dharma Wibawa: AI, Etika, dan PR Panjang Indonesia
Sesi pencerahan dari paparan menghadirkan empat narasumber, salah satunya Prof. Dr. Ir. Adhi Dharma Wibawa, Kepala Pusat Studi Kecerdasan Artifisial dan Teknologi Digital ITS. Dari awal, ia menggarisbawahi betapa pentingnya forum seperti kongres ini.
“Acara ini sangat positif, Saya kira alumni elektro hanya berkecimpung di bidang elektro, ternyata ada yang jadi pengusaha karung, ada juga yang buka catering. Itu mengejutkan sekaligus membanggakan. Topiknya pun relevan, bagaimana kolaborasi alumni diperkuat dengan perkembangan teknologi AI” ujarnya mantap.
Prof. Adhi mencontohkan penerapan sederhana AI.
“Di industri karung misalnya, dengan memanfaatkan data lampau, situasi pasar, atau perilaku konsumen, AI bisa diberdayakan untuk meningkatkan daya saing. Prediksi pasar, pola perilaku konsumen, analisis kompleks berbasis big data—semuanya pas untuk AI,” paparnya.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa kesiapan Indonesia belum sepenuhnya matang.
“Kalau bicara kesiapan, banyak aspek yang harus dipertimbangkan. Infrastruktur salah satunya. Bayangkan kita ingin membuat ChatGPT berbahasa Jawa. Itu butuh hardware mahal untuk mesin belajar, dataset bahasa Jawa yang harus dikumpulkan dan diolah. Sementara negara-negara maju sudah jauh melangkah,” jelasnya.
Adhi juga menyinggung kelemahan Indonesia pada aspek kelistrikan.
“Singapura lebih stabil dalam supply listrik. Kita di Indonesia masih ada kekhawatiran. Kalau mesin pembelajar sedang running lalu listrik padam, itu jadi isu serius,” katanya