Kode Suksesi Keraton Sultan HB dan Peluang Perempuan Pimpin Yogyakarta

4 hours ago 4
Daftar Isi

Jakarta, CNN Indonesia --

Isu suksesi di Keraton Yogyakarta kembali mencuat seiring dengan pernyataan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengku Buwono X terkait masa peran perempuan untuk regenerasi pemimpin.

Sultan yang juga Raja Keraton Yogyakarta ini menyampaikan perempuan memungkinkan untuk terlibat dalam proses regenerasi di Keraton Yogyakarta.

"Saya di MK untuk bicara wanita menjadi bagian dari bisa dimungkinkan untuk regenerasi di Keraton Jogja kok enggak boleh Itu gimana? Wong aturan itu di Keraton enggak ada. Tapi, saya tunduk pada Republik," kata Sultan dalam sebuah forum beberapa waktu lalu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Republik tidak membedakan laki-laki sama perempuan, kenapa saya membedakan? Kan saya tidak konsisten. Zaman sudah berubah, itu (tradisi patriarkis) kan leluhur saya. Lho, saya kan menjadi bagian dari republik, ya harus tunduk pada undang-undang republik. Malah memenuhi undang-undang, malah dianggap salah, kan gitu? Kan aneh bagi saya," imbuh dia.

Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol Universitas Gajah Mada (UGM), Mada Sukmajati mengatakan arah kepemimpinan keraton ke depan akan ditentukan oleh tiga hal utama. Pertama adalah paugeran.

Ia mengatakan paugeran adalah aturan yang sebenarnya tidak tertulis tetapi menjadi praktik yang sudah dikembangkan sejak dulu.

"Dari Sultan HB I sampai sampai HB X. Salah satunya di situ adalah tidak pernah ada Sultan dari perempuan," kata Mada saat dihubungi, Senin (27/10) malam.

Sultan saat ini diketahui tidak memiliki anak laki-laki. Lima putri Sultan adalah GKR Pembayun, GKR Condrokirono, GKR Maduretno, GKR Hayu dan GKR Bendara.

Kedua adalah sabda raja. Pada 2015 lalu, Sultan mengeluarkan sabda raja dan dawuh raja yang salah satu poinnya menetapkan GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram.

Sejauh sejarah mencatat, pemegang gelar Mangkubumi selama ini adalah laki-laki. Maka ketika GKR Pembayun dianugerahi gelar itu, kontroversi merebak, terutama dari internal keraton.

"Sabda Raja ini juga sebenarnya memiliki kekuatan hukum dalam konteks kultural yang memang setara dengan paugeran tadi. Tapi ini masih menjadi perdebatan ya, apakah ini setara atau lebih utama dari paugeran," ujar Mada.

Ketiga, adalah Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta. Salah satu pasal dalam UU itu menyatakan syarat cagub dan cawagub Yogyakarta harus menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak.

Pada 2017, MK menghapus kata 'istri' dalam aturan tersebut karena dinilai diskriminatif karena seolah memberikan syarat bahwa raja dan Gubernur di Yogyakarta harus laki-laki.

"Saya kira Sultan memang perlu mempersiapkan skenario suksesi pemimpinan usai beliau dan saya kira statement beliau itu menunjukkan bahwa sebenarnya beliau juga membutuhkan adanya kepastian skenario terkait dengan suksesi pasca kepemimpinan beliau," ujar Mada.

Dua solusi

Mada berpendapat ada dua solusi yang bisa diambil keraton agar suksesi ke depan berjalan mulus.

Pertama, di internal perlu ada pembicaraan antara Sultan, keluarga besar hingga adik-adiknya untuk menyiapkan skenario suksesi. Kedua, Sultan atau Keraton secara lembaga juga perlu mendengar aspirasi dari masyarakat.

"Pernah ada survei tahun 2015, survei itu menunjukkan sekitar 34 persen masyarakat masih ragu-ragu, apakah setuju atau tidak dalam menyikapi Sultan yang pasca HB X yang penggantinya adalah perempuan," ujarnya.

Menurutnya, masyarakat memang tidak bisa ikut campur secara langsung dalam urusan suksesi keraton.

Siapapun pemimpin selanjutnya, baik laki-laki atau perempuan, masyarakat sebenarnya lebih menunggu sejauh mana empat pilar keistimewaan Yogyakarta bisa mendorong peningkatan kesejahteraan sosial.

"Tetapi yang jauh lebih utama bagi masyarakat adalah bahwa keraton sebagai lembaga termasuk ada figur dari Sultan itu bisa mengoptimalkan kewenangan istimewanya untuk meningkatkan kesejahteraan sosial, budaya, ekonomi dari masyarakat Jawa," ujar Mada.

Mada mengingatkan jangan sampai ke depan suksesi Keraton Yogyakarta terjebak pada konflik internal seperti yang terjadi di Keraton Surakarta

"Saya kira dengan perkembangan zaman sekarang ini dengan besar hatinya Sultan X, dengan kebesaran dan moralitas saudaranya, saya kira sebenarnya tidak sulit lagi untuk mereka bersepakat, karena menurut saya relasi kuasa itu bisa dikompromikan dengan power sharing, dengan pembagian kekuasaan antara sultan nanti siapapun dia, dengan saudara-saudaranya," ujarnya.

Raja perempuan bukan hal tabu

Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Ane Permatasari mengatakan sejarah nusantara jauh sebelum Indonesia merdeka mencatat banyak kerajaan Islam nusantara dengan raja-raja perempuan yang bertahta dan diakui kemampuannya.

"Bahkan tidak sedikit dari mereka yang melakukan perlawanan penuh keberanian terhadap penjajah, sekarang kita kenal sebagai pahlawan nasional. Artinya seorang raja perempuan di kerajaan Islam bukanlah hal yang tabu. Kemungkinan itu selalu ada dan bisa saja terjadi," kata Ane.

Namun, untuk konteks Yogyakarta, ia mengatakan ada kondisi agak unik karena belum pernah ada raja perempuan di Keraton Yogyakarta. Menurutnya, paugeran keraton seolah-olah menutup pintu kesempatan bagi perempuan untuk memimpin di Keraton Yogyakarta.

"Inilah yang bisa menjadi potensi terjadinya gejolak bila ada seorang perempuan naik menjadi raja," ujarnya.

Ia mengatakan kunci utamanya ada di tangan Sultan X. Tantangan terbesar Sultan adalah mengubah persepsi bahwa paugeran keraton berlaku selamanya.

"Hal ini tentu saja tidak mudah. Walaupun bukan berarti tidak mungkin, karena satu hal penting, Keraton Yogya adalah kerajaan Islam dan kita semua tahu bahwa Islam tidak pernah melarang seorang perempuan yang memang punya kapasitas dan kemampuan, menjadi pemimpin di sektor publik," ujarnya.

Kode untuk GKR Mangkubumi

Pengamat politik dan pemerintahan UGM, Bayu Dardias menilai pernyataan Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X soal partisipasi perempuan dalam regenerasi di Keraton Yogyakarta kuat kaitannya dengan suksesi takhta Kasultanan Ngayogyakarta.

"Menurut saya regenerasi maksudnya spesifik suksesi," kata Dardias saat dihubungi, Senin (27/10).

Dardias melihat Sultan, selaku Raja Keraton Yogyakarta sejak mengeluarkan Sabda Raja pada 2015 silam hingga kini sebenarnya cukup konsisten mendorong putri sulungnya, GKR Mangkubumi untuk menjadi penerusnya. Sekalipun, isu suksesi ini seringkali mengalami pasang surut.

"Beliau cukup konsisten, karena memang beliau secara prinsip pingin putrinya yang maju. Dan saya pernah interview 2015, gitu, ya, saya tanyakan itu. Kalau menurut beliau sih intinya ya, laku lakon. Selalu mengatakan begitu, jadi intinya, tergantung bagaimana yang mau dipasrahi, dalam konteks ini, berarti ya GKR Mangkubumi," paparnya.

(yoa/dal)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Dunia Televisi| Teknologi |