Jakarta, CNN Indonesia --
Kepala Badan Anggaran DPR RI, Said Abdullah menyatakan bahwa perintah Presiden Prabowo Subianto guna menghapus kebijakan kuota impor untuk barang-barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak merupakan momen tepat mereformasi kebijakan impor.
Terlebih, telah tercatat banyak penyalahgunaan kewenangan yang bermula dari pelaksanaan kebijakan kuota impor, seperti kasus kuota impor beras pada 2007, kasus kuota impor daging sapi di 2013, kasus kuota impor gula kristal di 2015, hingga kasus kuota impor bawang putih di 2019. Menurut Said, Banggar DPR pada 21 Februari 2020 sudah meminta pemerintah untuk mengubah kebijakan impor dengan sistem kuota menjadi penerapan impor berbasis tarif.
Pada Maret lalu, Banggar DPR RI kembali mendorong pemerintah mengubah kebijakan impor dari sistem kuota menjadi pengenaan tarif. Pasalnya, dengan kebijakan tarif, Indonesia mendapatkan barang impor yang lebih adil dan kompetitif, juga peluang mendapatkan penerimaan negara dari bea masuk.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Langkah Prabowo itu antara lain juga sebagai respons atas kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Said menegaskan, khusus untuk barang barang impor komoditas hajat hidup orang banyak perlu mendapatkan pembebasan tarif.
"Secara makro, kebijakan impor harus mempertimbangkan trade balance agar neraca perdagangan tetap surplus. Langkah ini sekaligus untuk menjaga agar cadangan devisa tetap terjaga dengan baik," kata Said.
Menurutnya, kebijakan tarif Trump saat ini salah satu tujuannya adalah menjaga agar neraca perdagangan AS tidak defisit kian mendalam.
Adapun hal-hal lain yang harus diperhatikan termasuk bahwa kebijakan impor agar diletakkan sebagai barang substitusi sementara waktu, karena ketiadaannya di dalam negeri. Ke depannya nanti, Indonesia diyakini mampu memenuhi kebutuhan barang impor dengan produksi sendiri.
Dengan begitu, Indonesia dapat menjadi negara yang relatif mandiri, setidaknya dari sektor primer, yakni pangan dan energi.
"Kebijakan impor harus mempertimbangkan arah kebijakan lain untuk memperkuat industri nasional, dengan arah strategis semakin upaya memperkuat Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) yang semakin besar porsinya. Kita harus belajar dari tergerusnya produk tekstil nasional karena banjirnya produk impor tidak terulang, apalagi terjadi di sektor sektor lainnya," papar Said.
Dengan kompleksitas kebutuhan akan produk barang dan jasa, serta kait mengait dari rantai pasok, pemerintah dan pelaku usaha didorong untuk tidak bergantung kepada negara tertentu. Said mengungkapkan, dibutuhkan perluasan negara tujuan impor sebagai alternatif.
Sementara pada deregulasi kebijakan impor, khususnya dari sektor pangan dan energi, diharapkan mempermudah akses rakyat terhadap komoditas terkait, tetapi juga dengan tingkat harga yang lebih terjangkau. Sehingga, barang impor yang menjadi public good tidak menjadi beban ekonomi rakyat dan fiskal pemerintah.
Said juga menambahkan menyambut ratifikasi perjanjian Free Trade Agreement (FTA) bersama 18 negara dengan berbagai skema, baik bilateral, regional maupun multilateral.
"Skema FTA ini harus mampu meningkatkan Revealed Comparative Advantage (RCA) barang barang Indonesia, dengan demikian manfaat kita meratifikasi FTA memberi manfaat scale up perekonomian nasional," pungkas Said.
(rea/rir)