Dedi Mulyadi Bina Siswa Nakal di Barak Militer, Maarif Institute: Berpotensi Merusak Sistem Pendidikan

7 hours ago 2

loading...

Menteri HAM Natalius Pigai menerima kunjungan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi di Kantor Kementerian HAM, Jakarta, Kamis (8/5/2025). Pigai mendukung program Dedi Mulyadi mengirim anak nakal ke barak militer untuk dibina. Foto/Arif Julianto

JAKARTA - Maarif Institute for Culture and Humanity menyampaikan keprihatinan mendalam atas rencana Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengirimkan siswa-siswa dengan perilaku yang dianggap menyimpang, termasuk perilaku seperti tawuran, merokok, mabuk-mabukan, hingga orientasi seksual yang 'terindikasi LGBT' ke barak militer untuk dibina. Model pembinaan ini telah diterapkan di Purwakarta dan direncanakan diperluas ke Bandung dan Cianjur —sebuah perluasan yang perlu dipertimbangkan secara kritis, bahkan dihentikan.

Dalam pernyataan yang diterima SindoNews, Direktur Eksekutif Maarif Institute Andar Nubowo memandang bahwa pendekatan ini tidak hanya keliru secara fundamental, tetapi juga berbahaya dan berpotensi merusak sistem pendidikan secara struktural. "Kebijakan semacam ini mencerminkan kegagalan pemerintah dalam menyediakan ruang pendidikan yang aman, adil, dan inklusif bagi seluruh anak bangsa," ujarnya, Jumat (9/5/2025).

Andar menambahkan, ada tiga aspek yang patut menjadi perhatian bersama. Pertama, militerisasi pendidikan adalah kekerasan dan pelanggaran perlindungan anak. Menurutnya, pengiriman siswa ke barak militer merupakan bentuk kekerasan simbolik dan struktural dalam dunia pendidikan. Dalam teori Bourdieu & Passeron (1977), kekerasan simbolik terjadi ketika institusi seperti sekolah menanamkan nilai dan norma dominan secara paksa namun tak kasatmata, sehingga diterima sebagai kebenaran tanpa pertanyaan.

Baca Juga: Siswa Tukang Main Mobile Legends Bakal Dikirim Dedi Mulyadi ke Barak TNI

"Pendekatan militeristik terhadap siswa yang dianggap menyimpang mencerminkan dominasi ini, mengganti proses pendidikan yang reflektif dan dialogis dengan pemaksaan disiplin yang menekankan kepatuhan tanpa nalar. Dalam sistem seperti ini, pendidikan berhenti menjadi alat pembebasan, dan berubah menjadi instrumen penyeragaman yang membungkam keberagaman ekspresi anak."

Dari perspektif psikologi pendidikan, lanjutnya, gaya pendisiplinan semacam ini bukan hanya gagal membangun kesadaran moral, tetapi juga berdampak negatif terhadap pembentukan identitas remaja. Pendekatan ala militer memperkuat label 'nakal' tanpa ruang pemulihan. "Tanpa mekanisme dialog dan dukungan emosional, siswa justru kehilangan kepercayaan terhadap guru, sekolah, dan institusi pendidikan secara keseluruhan. Alih-alih membangun pemahaman, pendekatan ini hanya memperdalam stigma dan resistensi siswa terhadap proses belajar."

Dalam konteks krisis kesehatan mental remaja Indonesia saat ini, Maarif Institute menilai pendekatan represif semacam ini sangat berisiko. Survei mencatat satu dari tiga remaja mengalami gangguan psikologis (Center for Reproductive Health, University of Queensland, & Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health, 2022). Data WHO (2024) menyebut 14% anak dan remaja dunia menghadapi masalah serupa. "Lingkungan pendidikan yang berbasis hukuman dan stigma hanya akan menambah tekanan, memperbesar risiko depresi, kecemasan, dan isolasi sosial. Alih-alih menyelesaikan masalah perilaku, kebijakan semacam ini justru menciptakan luka baru yang mengancam masa depan anak-anak sebagai individu dan warga negara."

Baca Juga: Kebijakan Bina Siswa Nakal di Barak TNI Dikritisi Elite, Dedi Mulyadi: Cuma Komentar Aja Bisanya

Selain itu, kebijakan pengiriman siswa ke barak militer juga bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum dan konstitusi. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak secara tegas menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari kekerasan dan perlakuan tidak manusiawi, serta tumbuh dalam lingkungan yang aman dan mendukung. Kebijakan ini juga melanggar Pasal 28I UUD 1945, yang menjamin hak setiap warga negara untuk bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun, termasuk ekspresi identitas dan latar belakang sosial. Selain itu, Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia melalui Keppres No. 36 Tahun 1990 mewajibkan negara untuk memastikan bahwa tindakan korektif terhadap anak dilakukan demi kepentingan terbaik anak, bukan melalui pendekatan yang mempermalukan, mengasingkan, atau menakut-nakuti.

Aspek kedua adalah bertentangan dengan arah reformasi pendidikan nasional. Kebijakan pengiriman siswa ke barak militer bertentangan secara mendasar dengan arah reformasi pendidikan nasional yang tengah menempatkan peserta didik sebagai subjek utama dalam proses pembelajaran. Dalam Konsolidasi Nasional Pendidikan Dasar dan Menengah 2025, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'timenegaskan komitmen pemerintah untuk mewujudkan pendidikan dasar dan menengah yang bermutu, inklusif, dan berkeadilan. Visi ini menempatkan setiap anak sebagai subjek yang berhak atas lingkungan belajar yang aman, merata, dan menghargai keberagaman.

Read Entire Article
Dunia Televisi| Teknologi |