UU Polri Digugat ke MK karena Dianggap Multitafsir

7 hours ago 1

Jakarta, CNN Indonesia --

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan tersebut teregister dengan nomor perkara 76/PUU-XXIII/2025.

Dalam gugatan kali ini, ketentuan dalam Pasal 16 (1) huruf l dan ayat 2 huruf c UU 2/2002, yang diatur dalam beleid tersebut dianggap multitafsir dan berpotensi penyalahgunaan kekuasaan dalam proses penegakan hukum.

Sidang perdana di MK dengan agenda pemeriksaan pendahuluan pengujian materil UU Kepolisian ini berlangsung Kamis (22/5). Majelis hakim yang menangani gugatan itu antara lain Arief Hidayat, Anwar Usman dan Enny Nurbaningsih.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Seorang advokat bernama Syamsul Jahidin yang melayangkan gugatan tersebut menyampaikan norma Pasal 16 ayat (1) UU khususnya huruf l yang berbunyi "mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab" bersifat multi interpretatif.

Selain itu ia menilai bahwa Pasal 16 ayat (2) UU khususnya huruf c yang berbunyi "harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya" juga mengandung unsur penilaian yang subjektif sehingga berpotensi menimbulkan tindakan sewenang-sewenang.

Syamsul berpendapat Pasal 16 ayat (1) huruf l telah memberi ruang kepolisian dapat melakukan tindakan di luar prosedur hukum formal dengan dalih bertanggungjawab tanpa parameter objektif.

"Pasal ini dapat menimbulkan 'chilling effect' atau ketakutan masyarakat atas kondisi ambigu dalam perundangan," kata Syamsul dalam persidangan, dikutip dari situs resmi MK.

Selain itu, Syamsul juga beranggapan adanya pelanggaran hak pribadi pada Pasal 16 ayat (2) huruf c. Frasa 'harus patut dan masuk akal dalam lingkungan jabatannya', menurut dia, mengandung unsur subjektif. Pasal ini dinilai dapat menjustifikasi tindakan oknum sebagai masuk akal, meskipun tidak sesuai dengan prinsip-prinsip profesionalisme, proporsionalitas dan akuntabilitas, yang harusnya melekat pada penegak hukum.

"Pasal ini memberikan ruang penilaian subjektif tanpa kontrol objektif berpotensi memberikan praktik otoritarianisme, tidak adanya transparansi, serta tindakan koersif yang hanya dibenarkan secara internal oleh institusi kepolisian," ujarnya.

Syamsul dan seorang anggota bhayangkari bernama Ernawati melayangkan gugatan terhadap Pasal 11 (2) UU Nomor 2/2002 yang mengatur tentang usulan pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Keduanya terdaftar sebagai pemohon dalam berkas gugatan dengan Nomor Perkara 78/PUU-XXIII/2025, karena menilai penjelasan Pasal 11 ayat (2) seharusnya dirumuskan pada batang tubuh pasal.

Terkait gugatan uji materiil dua perkara ini, hakim MK Enny Nurbaningsih meminta pemohon melakukan perbaikan berkas perkara.

"Lihat buku saku hak konstitusional yang diberikan UUD 1945 yang menurut Pemohon dirugikan, karena norma ini bicara tentang kepolisian. Pahami dulu UU Kepolisian ini, apakah benar anggapan kerugian ini bersifat faktual atau potensial," kata Enny.

Sementara Anwar Usman menilai pemohon seharusnya mengajukan gugatan ke PTUN. Majelis hakim memberi batas waktu bagi pemohon untuk melakukan perbaikan hingga sidang pada 4 Juni 2025.

"Elaborasi lagi pasal yang diujikan ini dengan hak konstitusionalnya," katanya.

(fra/mab/fra)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Dunia Televisi| Teknologi |