Penggunaan Gawai, Tantangan Baru Pendidikan Indonesia?

7 hours ago 3

loading...

Indra Budi Setiawan - Penelaah Teknis Kebijakan Penguatan Karakter, Kemendikdasmen. Foto/Dok Pribadi

Indra Budi Setiawan
Penelaah Teknis Kebijakan Penguatan Karakter, Kemendikdasmen

Di tengah gencarnya transformasi digital, gawai sudah menjadi barang yang lumrah digunakan oleh semua lapisan usia. Sering muncul klaim bahwa teknologi adalah masa depan pendidikan. Namun, ada satu kenyataan yang perlu dihadapi dengan jujur bahwa gawai dapat menjadi bumerang. Ini jika gawai tidak digunakan dengan bijak, terutama oleh anak-anak usia sekolah.

Menurut survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia, hari ini lebih dari 71,3% anak usia sekolah memiliki gadget dan memainkannya dalam porsi yang cukup lama dalam sehari Pertanyaannya adalah, digunakan untuk apa? Jawabannya mengejutkan. Sebagian besar waktu digunakan bukan untuk belajar, melainkan untuk hiburan seperti akses media sosial, video pendek, dan game online.

Sementara itu, data Asesmen Nasional 2022 menunjukkan bahwa mayoritas siswa Indonesia belum mencapai kompetensi dasar dalam membaca dan matematika. Hasil PISA tahun 2022 juga menempatkan Indonesia di posisi ke-69 dari 81 negara. Hal ini merupakan sebuah paradoks. akses terhadap teknologi meningkat, tetapi kualitas pembelajaran justru stagnan.

Krisis Gawai
Gawai telah menjadi bagian dari kehidupan anak-anak. Kita tak bisa melarangnya secara mutlak. Namun, tanpa panduan dan batasan yang jelas, perangkat pintar ini bisa berubah menjadi pengalih perhatian utama yang akan menggerogoti daya fokus, prestasi, bahkan kesejahteraan mental anak.

Sejumlah riset menyebutkan bahwa paparan layar berlebihan berdampak langsung pada konsentrasi, keterampilan sosial, dan performa akademik. American Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan anak usia sekolah tidak menggunakan gawai untuk hiburan lebih dari dua jam per hari. Sayangnya, di Indonesia, rata-rata pelajar justru menghabiskan lebih dari 5 jam per hari di depan layar dan itu di luar waktu belajar daring.

Penelitian yang dilakukan pada sejumlah SMA di Kota Bandung oleh Fatah dkk (2022) mengungkapkan bahwa 69,5% remaja memiliki adiksi terhadap gawai. Data Unicef (2023) mengungkapkan bahwa 48% anak mengalami cyberbullying dan 50,3% anak telah melihat konten bermuatan seksual melalui media sosial. Ironinya, hanya 37,5% anak yang pernah menerima informasi tentang cara berinternet dengan aman.

Kita sedang menghadapi krisis penggunaan gawai yang tidak terarah. Ditengarai bahwa sampai saat ini masih belum ada kebijakan dari kementerian yang terkait yang sungguh-sungguh mengatur soal ini. Yang ada sekarang baru sekolah yang membuat aturan masing-masing. Di sisi lain para orang tua dibiarkan mencari cara sendiri dan anak-anak semakin larut dalam dunia digital yang tanpa pagar.

Alternatif Solusi Ke Depan
Sudah waktunya negara atau Pemerintah hadir dengan merumuskan regulasi nasional yang mengatur penggunaan gawai berdasarkan usia, waktu, dan konteks penggunaan. Pemerintah dapat merujuk pada pedoman internasional, seperti dari World Health Organization (WHO) dan American Academy of Pediatrics (AAP), untuk menetapkan standar nasional yang seragam. Tidak kalah penting, kurikulum juga harus diperkuat dengan literasi digital dan bukan sekadar kemampuan teknis, tetapi juga etika, keamanan, dan manajemen waktu layar.

Sekolah seyogianya menjadi zona aman dari distraksi digital. Yang perlu disadari bahwa bukan berarti melarang total, tetapi mengatur dengan bijak. Misalnya, menetapkan zona bebas layar, mengadakan edukasi rutin tentang bahaya kecanduan gawai, serta melibatkan guru sebagai pendamping digital, bukan sekadar pengawas.

Read Entire Article
Dunia Televisi| Teknologi |