Jakarta, CNN Indonesia --
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera) inkonstitusional apabila tidak dilakukan penataan ulang sebagaimana amanat Pasal 124 UU 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman.
Dalam putusan nomor: 96/PUU-XXII/2024, MK mengabulkan seluruh permohonan pengujian UU Tapera.
"Menyatakan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5863) dinyatakan tetap berlaku dan harus dilakukan penataan ulang dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan a quo diucapkan," ujar Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pengucapan putusan, Senin (29/9), dilansir dari laman resmi MK.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertimbangan hukum
Wakil Ketua MK Saldi Isra menyebutkan kewajiban pekerja menjadi peserta sebagaimana tujuan Pasal 2 UU 4/2016 menimbulkan kontradiksi dengan kemudahan yang dimaksudkan dalam UU 1/2011.
Terlebih, peserta Tapera termasuk di dalamnya pekerja dalam kategori masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
"Padahal tanpa wajib menjadi peserta, setiap pekerja juga sudah dapat mengakses layanan kepemilikan, pembangunan, dan renovasi rumah dari berbagai skema," kata Saldi.
MK menilai keberadaan Tapera sebagai kewajiban apalagi disertai dengan sanksi tidak hanya bersifat tumpang tindih (overlapping), melainkan juga berpotensi menimbulkan beban ganda terutama bagi kelompok pekerja yang sudah berkontribusi dalam skema jaminan sosial lainnya yang telah ada.
Sebab, Tapera bukan satu-satunya instrumen, seperti halnya Aparatur Sipil Negara (ASN) yang telah memiliki akses langsung terhadap skema perumahan resmi yang dijalankan PT Taspen Properti Indonesia (Taspro), sedangkan bagi prajurit TNI dan anggota Polri serta ASN di lingkungan Kementerian Pertahanan dan Polri juga dapat mengikuti program Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan (YKPP) atau Pinjaman Uang Muka Kredit Kepemilikan Rumah (PUM KPR) Asabri.
Di luar program tersebut, masyarakat juga memiliki opsi pembiayaan perumahan melalui berbagai skema Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang disediakan bank di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Sementara itu, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan Pasal 7 ayat (1) UU 4/2016 merupakan ruh yang menjiwai keseluruhan norma dalam UU 4/2016 karena esensinya untuk pengerahan dana dengan cara pemupukan dana dari peserta, dalam hal ini pekerja.
Namun, jika kata 'wajib' dalam norma itu diubah menjadi kata 'dapat' sebagaimana petitum Pemohon, maka keseluruhan mekanisme Tapera kehilangan logika normatifnya.
Sanksi menjadi tidak berdasar, kewajiban penyetoran menjadi tidak bermakna, dan operasional kelembagaan Tapera menjadi tidak mungkin dijalankan sebagaimana tujuan pembentukan UU 4/2016.
"Oleh karena itu, perubahan redaksional semata hanya menimbulkan disharmoni internal, inkonsistensi antarpasal, serta ketidakpastian hukum yang justru bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Sebab, Pasal 7 ayat (1) UU 4/2016 sesungguhnya merupakan 'pasal jantung' (core norm) dari keseluruhan sistem Tapera dalam UU 4/2016 yang berlandaskan prinsip kewajiban menjadi peserta tersebut," jelas Enny.
Tapera dibentuk dengan konsep 'tabungan' tetapi hasil akhir hanyalah pengembalian uang simpanan di akhir masa kepesertaan atau masa pensiun. Skema demikian secara inheren dinilai tidak mampu memenuhi tujuan utama yaitu memberikan akses kepada rakyat untuk memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau bagi peserta.
Oleh karena itu, MK meminta pembentuk Undang-undang harus menata ulang desain pemenuhan hak atas rumah dengan mengembangkan konsep perumahan yang salah satunya adalahcentral public housingagar dapat menyelesaikan persoalan keterbatasan lahan perkotaan dan memberikan hunian bagi MBR sebagai bagian dari sistem nasional penyediaan hunian publik yang masif, terjangkau, dan berkelanjutan.
"Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat Pasal 7 ayat (1) UU 4/2016 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945," tutur Enny.
Dengan telah dinyatakannya Pasal 7 ayat (1) UU 4/2016 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, maka konsekuensi yuridisnya ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 17 ayat (1) UU 4/2016 sebagaimana yang didalilkan pula oleh Pemohon kehilangan dasar konstitusionalnya.
Secara yuridis berlaku asasaccessorium sequitur principale, norma yang bersifat aksesori tidak dapat berdiri sendiri apabila norma utama atau pasal jantung dibatalkan.
Karena Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) yang mengatur mekanisme kewajiban mendaftar pekerja dan pekerja mandiri sebagai peserta Tapera serta Pasal 17 ayat (1) UU 4/2016 yang menyatakan 'simpanan Tapera dibayar oleh pemberi kerja dan pekerja' merupakan kelanjutan dari kewajiban Pasal 7 ayat (1) UU 4/2016 sebagai norma utama.
Kemudian, Pemohon juga mempermasalahkan keberadaan norma delegatif dalam Pasal 16 UU 4/2016 yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengatur lebih lanjut tata cara kepesertaan dan simpanan melalui peraturan pemerintah.
Meskipun Pasal itu secara redaksional tidak mengatur substansi kewajiban, melainkan hanya memberi kerangka teknis, tetapi keberlakuannya tetap tidak dapat dipertahankan karena norma delegatif tersebut tidak lagi memiliki pijakan.
MK memandang perlu memberikan tenggang waktu (grace period) yang dinilai cukup bagi pembentuk Undang-undang untuk menata ulang pengaturan.
Dalam hal ini, pembentuk Undang-undang perlu memperhitungkan secara cermat ihwal pendanaan dan sistem pembiayaan perumahan dari pengaturan yang sifatnya mewajibkan menjadi pilihan bagi pemberi kerja, pekerja, termasuk pekerja mandiri sesuai dengan prinsip keadilan sosial, perlindungan kelompok rentan, serta kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan dan hak-hak konstitusional warga negara sebagaimana dijamin dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
MK menilai pembatalan seketika terhadap UU 4/2016 tanpa masa transisi dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan gangguan administratif dalam pengelolaan iuran maupun aset peserta termasuk potensi risiko hukum terhadap entitas pelaksana seperti Badan Pengelola Tapera dan lembaga keuangan terkait.
Atas dasar itu, untuk menghindari kekosongan hukum, MK memberikan tenggang waktu paling lama dua tahun kepada pembentuk Undang-undang untuk menata ulang sesuai dengan amanat UU 1/2011.
Kehilangan Objek
Pada persidangan hari ini, MK juga menjatuhkan putusan terhadap permohonan pengujian UU Tapera lainnya yaitu perkara nomor: 86/PUU-XXII/2024 dan 134/PUU-XXII/2024. MK menyatakan pertimbangan hukum putusan nomor: 96/PUU-XXII/2024 berlaku pula untuk dua putusan tersebut.
Sekalipun Pemohon dalam permohonannya tidak mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) UU 4/2016, tetapi UU 4/2016 telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK.
Maka, permohonan para Pemohon baik dalam permohonan 86/PUU-XXII/2024 maupun 134/PUU-XXII/2024 menjadi kehilangan objek.
"Amar putusan, mengadili, menyatakan permohonan nomor: 86/PUU-XXII/2024 dan nomor: 134/PUU-XXII/2024 tidak dapat diterima," kata Ketua MK Suhartoyo.
(ryn/ugo)