Greenpeace: Hutan Alam di Sumut Tinggal 14 Juta Hektare, Sungai Kritis

1 hour ago 1
Daftar Isi

Jakarta, CNN Indonesia --

Analisis Greenpeace Indonesia menunjukkan luas hutan alam di Provinsi Sumatra Utara (Sumut) terus mengikis sepanjang kurun waktu 34 tahun terakhir. Saat ini, hutan alam di sana hanya tinggal sekitar 14 juta hektare saja.

Analisis tersebut merujuk pada data Sistem Monitoring Hutan Nasional (SIMONTANA) Kementerian Kehutanan.

"Secara keseluruhan kini tinggal 10 hingga 14 juta hektare hutan alam atau kurang dari 30 persen luas Pulau Sumatra yang 47 juta hektare," kata Peneliti Senior Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Sapta Ananda Proklamasi dalam keterangan persnya, Selasa (2/12).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam kurun waktu 1990-2024, banyak hutan alam di Provinsi Sumatra Utara beralih fungsi menjadi perkebunan, pertanian lahan kering, dan hutan tanaman. Situasi serupa disebut juga terjadi di Aceh dan Sumatra Barat.

Sungai kritis

Mayoritas Daerah Aliran Sungai (DAS) di Pulau Sumatra telah kritis, dengan tutupan hutan alam kini kurang dari 25 persen.

Salah satu DAS yang rusak parah adalah DAS Batang Toru yang meliputi Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, dan Tapanuli Tengah.

Batang Toru merupakan bentang hutan tropis terakhir di Sumatra Utara yang saat ini dibebani dengan berbagai macam perizinan untuk industri rakus lahan- termasuk PLTA Batang Toru- yang membabat hutan dan juga menggusur habitat orang utan Tapanuli.

Deforestasi

Selama periode 1990-2022, Greenpeace menyebut telah terjadi deforestasi seluas 70 ribu hektare atau 21 persen dari luas DAS Batang Toru. Kini luas hutan alam yang tersisa hanya sebesar 167 ribu hektare atau 49 persen dari luas DAS.

Sapta menuturkan areal perizinan berbasis lahan dan ekstraktif secara keseluruhan seluas 94 ribu hektare atau 28 persen. Sebagian besar berupa perizinan berusaha pemanfaatan hutan, wilayah izin usaha pertambangan, dan perkebunan kelapa sawit.

Kemudian total potensi erosi saban tahun sebesar 31,6 juta ton. Sekitar 56 persen berasal dari areal rawan erosi yang jumlahnya lebih dari 180 ton hektare per tahun.

"Bagian hulu sudah beralih fungsi menjadi pertanian kering, sedangkan hilirnya beralih fungsi menjadi perkebunan sawit dan industri bubur kertas. Hutan alamnya hanya berada di bagian tengah DAS," ungkap Sapta.

Tuntut tanggung jawab pemerintah

Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas mendesak Pemerintah untuk serius membenahi kebijakan tata kelola lahan dan hutan secara menyeluruh demi menyelamatkan ekosistem dan masyarakat dari tragedi bencana iklim.

Dengan krisis iklim yang kian parah, hutan yang rusak dan daya dukung lingkungan menurun drastis, kata Rio, hanya akan membuat masyarakat semakin porak-poranda tatkala terjadi cuaca ekstrem.

"Pemerintah harus mengakui bahwa mereka telah salah dalam tata kelola hutan dan lahan. Akibatnya hutan Sumatra hampir habis, terjadi degradasi lingkungan parah, dan kini masyarakat Sumatra harus menanggung harga yang amat mahal dari bencana ekologis ini," kata Rio sapaan akrabnya.

"Prabowo dan beberapa menterinya memang sudah menyinggung soal deforestasi, tapi mereka seolah mengesankan bahwa kerusakan hutan di Sumatra terjadi karena penebangan liar. Padahal, selain penebangan liar, deforestasi masif terjadi karena dilegalkan pula oleh negara dari satu pemerintahan ke pemerintahan lainnya," sambungnya.

Sementara itu, Manajer Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Iqbal Damanik menambahkan hujan ekstrem akan terus mengintai sebagai dampak dari krisis iklim.

Sebagai negara kepulauan yang rawan terhadap bencana, tegas dia, dampak krisis iklim bukan hanya angka, melainkan juga mengancam nyawa.

"Harus ada tindakan dan target iklim yang ambisius. Pemerintah tak bisa lagi mengandalkan upaya mitigasi dan adaptasi yang hanya terpampang di atas kertas, dan tidak boleh ada lagi solusi palsu dalam kebijakan iklim nasional," ucap Damanik.

"Sekarang waktu yang tepat untuk memperbaiki arah kebijakan nasional agar tidak lagi berpihak pada segelintir orang, tapi kelayakan bagi semua orang," pungkasnya.

Selain mengevaluasi izin-izin di Sumatra, Greenpeace juga meminta pemerintah Indonesia untuk berhenti merusak hutan di wilayah lain, seperti Papua. Sebab, pertumbuhan ekonomis sebesar 8 persen yang dicita-citakan Prabowo tak akan tercapai jika lingkungan rusak dan bencana iklim terus mengintai.

Bencana hidrometeorologi banjir bandang dan longsor di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat mengakibatkan banyak korban jiwa berjatuhan dan tak sedikit kerugian materi yang ditimbulkan. Banyak fasilitas umum rusak parah dengan cakupan wilayah luas.

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per Senin (1/12) pukul 17.00 WIB mencatat sebanyak 604 warga meninggal dunia akibat bencana ekologis yang terjadi pada pekan akhir November tersebut.

Sebanyak 3.500 rumah rusak berat, 4.100 rumah rusak sedang, 20.500 rumah rusak ringan. Kemudian ada 271 jembatan rusak dan 282 fasilitas pendidikan rusak.

(ryn/dal)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Dunia Televisi| Teknologi |